JAKARTA, iNewsBanten - Sri Jayabupati raja Sunda pernah mengucapkan sumpah atau kutukan, sumpah itu menandai bagaimana sepak terjang Kerajaan Sunda yang menjadi salah satu kerajaan besar yang disegani di Pulau Jawa bagian barat.
Nama Sunda sebagai kerajaan ditemukan secara tersurat dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat buah batu untuk menuliskannya.
Saleh Danasasmita pada bukunya "Menemukan Kerajaan Sunda", keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan dekat Kampung Bantar Muncang, satu ditemukan dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini ialah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno.
Di mana prasasti itu berisikan aturan yang disampaikan Raja Sri Jayabhupati yang memerintah di tanah Sunda. Raja yang bergelar Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa ini membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Jayabupati raja Sunda meminta jangan ada yang melanggar ketentuan itu seperti di sungai jangan ada yang menangkap ikan pasalnya, di sebelah sungai yang berbatasan dengan pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu.
Di sebelah hilir dalan batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah. Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda begitu lengkapnya.
Kutukan sumpah itu digoreskan pada batu prasasti keempat sebanyak 20 baris yang intinya menyerukan semua kekuatan gaib di dunia dan di surga agar ikut melindungi keputusan raja.
Siapapun yang berani menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan mengisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya.
Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu para hiyang semuanya).
Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibu kota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Dugaan tersebut tidak terdukung oleh bukti-bukti kesejarahan yang lain.
Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak.
Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak Ibu kota Tarumanagara, maka kehadiran Prasasti Sri Jayabupati di Cibadak tidaklah berarti Ibukota Kerajaan Sunda berada di situ. Tanggal pembuatan prasasti itu bertepatan dengan 11 Oktober 1030.
Menurut Pustaka Nusantara parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun antara tahun 952 - 964 saka atau tahun 1030 - 1042 M.
Isi prasasti tersebut dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gayanya, melainkan juga gelar raja yang sangat mirip dengan gelar dari lingkungan Keraton Darmawangsa.
Tokoh Sri Jayabhupati disebut dengan nama lain dalam Carita Parahiyangan, yaitu Prebu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda yang ke-20 setelah Maharaja Tarusbawa memerintah.
Artikel ini pernah tayang di iNews id.
https://Jabar.inews.id/berita/ngerinya-kutukan-raja-sunda-ke-orang-yang-tangkap-ikan-di-sungai
Editor : Mahesa Apriandi