SERANG, iNewsBanten - Awal kisah Islam masuk ke Banten memiliki sejarahnya tersendiri. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten yakni ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit.
Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, Prabu Siliwangi mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal ini.
Pada pertengahan abad ke-16, daerah Banten bukan hanya menjadi pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad.
Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Akhirnya Prabu Siliwangi memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Hal terungkap di dalam buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia, karya Binuko Amarseto".
Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Kerajaan Pajajaran pun menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah releksi akan adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan, bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai Sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran.
Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang.
Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama laskar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka.
Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten.
Adapun Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten.
Pada 1552, Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570).
Editor : Mahesa Apriandi