Menimbang Sekda Kota Serang: Antara Meritokrasi, Akselerasi, dan Manuver Kekuasaan
SERANG, iNewsBanten – Kursi Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Serang mulai jadi sorotan, tak kalah hangat dari seleksi Sekda Provinsi Banten yang belum lama rampung. Posisi strategis ini kini memasuki medan tarik-menarik antara harapan meritokrasi dan potensi intervensi politis.
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Ikhsan Ahmad, mengingatkan bahwa Sekda bukan sekadar jabatan administratif, melainkan penggerak utama mesin birokrasi. Dalam sistem merit, katanya, proses seleksi Sekda idealnya tidak berbelok jadi ajang transaksi politik.
"Yang dibutuhkan kepala daerah adalah kemampuan prediktif membaca potensi, bukan hanya soal peringkat di atas kertas," ujar Ikhsan, Rabu, (16/072025).
Ikhsan mengacu pada pengalaman seleksi Sekda Banten sebelumnya, di mana sistem merit berbenturan dengan keputusan politik kepala daerah. Ia menyebut bahwa posisi Sekda idealnya diisi oleh sosok yang bisa menjembatani visi kepala daerah dan implementasi teknis lintas sektor.
Tiga Kandidat, Tiga Karakter
Di tengah proses penjaringan, tiga nama mencuat di ruang publik. Masing-masing membawa warna dan kekuatan yang berbeda.
Iwan Sunardi, Kepala Dinas PUPR Kota Serang, disebut sebagai teknokrat infrastruktur yang tangguh. Ia punya pengalaman panjang di sektor pembangunan fisik dan tata ruang. Namun, pendekatannya masih kerap dianggap teknis normatif dan belum sepenuhnya menjangkau aspek sosial-politik pembangunan.
W. Hari Pamungkas, Kepala Bapenda, dianggap unggul di sektor fiskal. Ia disebut menguasai peta PAD dan punya rekam jejak menaikkan pendapatan daerah. Meski begitu, tantangannya adalah apakah kepiawaiannya di keuangan cukup untuk mengelola koordinasi antarsektor yang lebih kompleks.
Wahyu Nurjamil, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM yang sekaligus menjabat Kepala Satgas Percepatan Pembangunan, dinilai tampil sebagai "Sekda informal" saat ini. Ikhsan menyebut, Wahyu telah menunjukkan pola kerja lintas sektor, cepat, dan komunikatif dalam mengakselerasi agenda pembangunan.
“Secara de facto, Wahyu sudah memainkan peran Sekda. Ia bukan hanya bergerak cepat, tapi juga cakap membaca arah kebijakan kepala daerah,” kata Ikhsan.
Wahyu dinilai berhasil membangun sinergi birokrasi dan masyarakat, dari penataan Pasar Lama, kawasan Kepandean, hingga penguatan UMKM melalui event ekonomi kreatif yang masif.
Dilema Merit dan Loyalitas
Namun di balik nama-nama itu, tarik-ulur antara meritokrasi dan loyalitas politik tak bisa dihindari. Kepala daerah tetap memegang kendali akhir atas penunjukan. Di sinilah muncul kekhawatiran tentang politisasi jabatan strategis.
“Ini bukan sekadar siapa yang terbaik di kertas, tapi siapa yang bisa mengeksekusi program kepala daerah tanpa ragu,” ungkap Ikhsan.
Keberadaan Satgas Percepatan Pembangunan yang dipimpin Wahyu menjadi indikator arah baru pemerintahan Budi Rustandi dan Nur Agis Aulia. Pemerintah tengah mendorong akselerasi pembangunan—dan Wahyu dianggap sebagai representasi pola kerja tersebut.
Dalam konteks ini, menurut Ikhsan, jabatan Sekda tidak bisa lagi diisi sosok birokrat pasif. Ia harus jadi katalisator lintas OPD dan pemegang irama kerja organisasi secara menyeluruh.
“Banyak ASN hebat secara teknis, tapi tidak semua bisa menggerakkan sistem,” tandasnya.
Keputusan Politik di Ujung Meritokrasi
Analisis ini menjadi refleksi menjelang keputusan akhir Wali Kota Serang. Akankah pilihan jatuh pada teknokrat murni, juru hitung fiskal, atau sosok akselerator yang sudah ‘berlari lebih dulu’?
Satu hal yang pasti, publik menanti: apakah jabatan Sekda kali ini akan ditentukan oleh sistem merit, atau justru kembali menjadi hasil kompromi kuasa?
Editor : Mahesa Apriandi