get app
inews
Aa Text
Read Next : Putra Yon Koeswoyo Koes Plus Apresiasi Pagelaran Musik Jalanan di HUT Bhayangkara ke-79 di Tangsel

Willy Prakarsa dan Nafas Panjang Aktivis 98: Kritik yang Merawat Nurani Publik

Rabu, 16 Juli 2025 | 16:47 WIB
header img
Willy Prakarsa dan Nafas Panjang Aktivis 98: Kritik yang Merawat Nurani Publik, Foto Dokumentasi

TANGERANG SELATAN, iNewsBanten – Dua dekade lebih sejak Reformasi 1998 mengguncang fondasi kekuasaan Orde Baru, sebagian besar tokoh pergerakan telah larut dalam sistem atau tenggelam dalam diam. Namun Willy Prakarsa, salah satu motor gerakan mahasiswa kala itu, justru tetap nyaring bersuara—kali ini melalui kanal yang lebih personal namun tak kalah politis: media sosial.

Ketua Presidium JARI’98 (Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia) ini kembali mengetuk kesadaran publik lewat cuitan yang viral. Bukan soal elite, bukan pula seruan agitasi, melainkan tentang keresahan ibu-ibu rumah tangga yang kian terhimpit oleh kondisi ekonomi. Sebuah narasi kecil yang menyentuh dasar dari apa yang dulu diperjuangkan oleh generasi 98: keadilan sosial.

“Keluhan mereka nyata. Harga-harga naik, penghasilan stagnan, dan negara terasa jauh,” tulis Willy. Kritiknya bukan dalam bentuk makian, tapi empati yang disampaikan dengan nada tenang—namun mengusik logika kekuasaan.

Yang mengejutkan, di tengah kritik itu, Willy menyelipkan harapan. Ia meminta publik untuk tetap rasional, tak terjebak dalam kemarahan kosong. Baginya, kritik bukan untuk membakar, tapi untuk menerangi. “Kalau kita berhenti berharap, maka reformasi hanya tinggal sejarah tanpa jiwa,” ujar pria yang turut membangun konsolidasi aktivis lintas kampus di akhir 90-an itu.

Lebih jauh, Willy bahkan secara terbuka menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Tangerang Raya dan Banten atas pilihan politik yang pernah ia suarakan dalam Pilpres 2024. Tanpa menyebut nama, ia mengakui bahwa langkah politik bisa meleset, dan publik berhak menilai.

“Bukan soal siapa yang kita pilih, tapi soal apakah kita masih peduli dengan konsekuensinya. Saya tidak lari dari tanggung jawab moral,” katanya.

Willy Prakarsa menunjukkan bahwa menjadi aktivis bukan sekadar bagian dari sejarah. Ia menjadikan aktivisme sebagai jalan panjang, yang tak berhenti di era Soeharto tumbang. Di tengah banjir informasi dan opini pesanan, suara seperti Willy menjadi semacam penyeimbang: jujur, reflektif, dan tetap berpihak pada rakyat kecil.

“Reformasi bukan selesai ketika istana berganti penguasa. Reformasi hanya hidup jika nurani rakyat tetap dijaga,” ucapnya.

Di tengah panggung politik yang semakin kehilangan rasa, Willy Prakarsa tampil sebagai pengingat: bahwa Aktivis 98 belum mati—dan masih punya utang kepada publik yang dulu mereka bela.

 

 

 

Editor : Mahesa Apriandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut