25 Tahun Mengabdi sebagai Honorer di Lebak, Cacang Hidayat Hidup di Gubuk Rapuh Bersama Enam Anak
LEBAK, iNewsBanten - Kisah pilu menyelimuti kehidupan Cacang Hidayat (55), warga Kampung Sanding, Desa Sumurbandung, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak, Banten. Hampir seperempat abad mengabdikan diri sebagai pegawai honorer penjaga sekolah dan perpustakaan di SMP Negeri 2 Cibadak, kehidupan Cacang justru berjalan jauh dari kata layak.
Bersama istrinya, Enok Sutirah (43), dan enam anaknya, Cacang tinggal di sebuah bangunan reyot yang lebih mirip gubuk yang menua ditelan waktu. Tanpa lantai, tanpa fasilitas memadai, dan berdiri dengan sisa-sisa kekuatan yang hampir habis. Jumat (12/12/2025).
Bangunan itu tampak miring dan nyaris roboh. Tak ada keramik atau ubin, lantai tanah mengeras menjadi alas seluruh aktivitas keluarga. Di sudut lain, sebuah amben bambu menjadi tempat tidur, meski sebagian besar bilahnya telah lapuk dimakan rayap. Permukaannya hanya ditutup terpal lusuh yang mulai koyak.
Struktur rumah yang terbuat dari kayu dan bilik bambu juga rusak di berbagai titik. Tiang-tiang penyangga keropos, sementara atap bocor di hampir semua bagian. Kayu dan bambu seadanya dipasang sebagai penopang tambahan agar rumah tidak ambruk saat diterpa hujan atau angin kencang.
“Kalau hujan, kami pindah ke satu kamar yang masih agak utuh. Itu pun seadanya. Anak-anak tidur berhimpitan. Rumah ini memang sudah tidak layak,” ujar Cacang lirih.
Cacang mulai bekerja sebagai pegawai honorer pada Juni 2001. Selama 24 tahun lebih ia mengabdi, penghasilannya tak pernah melebihi Rp800.000 per bulan. Sering kali, pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
“Cukup tidak cukup, ya itu yang ada. Kami atur seadanya. Kadang ada tambahan dari kebun, atau istri bantu kerja. Alhamdulillah masih bisa bertahan,” ucapnya sambil menunduk, matanya berkaca-kaca.
Untuk sampai ke sekolah tempat ia bekerja, Cacang berjalan kaki sekitar 8-9 kilometer. Setiap hari, ia memulai perjalanan pukul 05.00 WIB dan menempuh dua jam perjalanan dengan langkah sederhana yang tak pernah putus, meski lelah dan hidup tak selalu bersahabat.
“Pulang pergi begitu terus. Kadang ada yang suka ngasih tumpangan,” tuturnya.
Rumah yang kini ditempati Cacang dibangun pada tahun 2000 dan tak pernah sekalipun direnovasi. Kondisinya semakin parah setelah sebuah pohon tumbang menimpa atap rumah beberapa waktu lalu.
“Saya tidak mampu memperbaikinya. Jadi dibiarkan saja. Sampai sekarang masih berantakan,” katanya pasrah.
Yang paling menyayat hatinya adalah ketika anak-anaknya mulai membandingkan kondisi rumah mereka dengan rumah teman-temannya.
“Kadang mereka bilang, ‘Pak, rumah orang bagus-bagus.’ Saya jawab, jangan lihat ke atas dulu. Sabar, insya Allah ada rezekinya,” ucapnya dengan suara bergetar.
Setelah bertahun-tahun mengikuti berbagai tes dan menanti kepastian, tahun ini Cacang akhirnya dinyatakan lolos sebagai P3K Paruh Waktu. Nomor induk pegawai telah keluar dan ia tinggal menunggu pelantikan pada Desember 2025.
“Alhamdulillah. Mudah-mudahan bisa sedikit memperbaiki kehidupan,” ucapnya penuh syukur.
Namun satu harapan besar masih menunggu untuk diwujudkan: rumah layak huni bagi keluarganya.
“Penginnya punya rumah layak, tidak harus mewah. Yang penting tidak bocor dan tidak takut roboh,” katanya pelan.
Kisah Cacang Hidayat adalah potret buram perjuangan banyak tenaga honorer di pelosok negeri, mereka yang puluhan tahun menjaga sekolah, merawat perpustakaan, menghidupkan pendidikan, tetapi masih harus bertahan dalam keterbatasan demi sebuah ruang bernama rumah.
Editor : Mahesa Apriandi