Bersama teman-teman tukang becaknya, Sanim mendaftar sebagai buruh sebuah pabrik yang pada saat itu membuka lowongan besar-besaran. Tanpa berbekal pengalaman dan pengetahuan, Sanim berharap agar dia bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan menjadi pegawai pabrik, mengingat semakin turunnya angka penumpang becaknya.
Seiring berjalannya waktu, berkat kegigihannya, keuangan keluarga Sanim mulai membaik dibandingkan saat membecak dulu. Berbekal pendapatan inilah dia akhirnya mengundurkan diri dan lebih memilih membuka usaha sendiri.
Selain itu, mundurnya Sanim juga dipengaruhi oleh kesadarannya atas potensi bisnis garam yang bisa lebih maju jika dimanfaatkan dengan baik. Atas dasar tersebut, dia memutuskan untuk membuka usaha garam sendiri.
Bersama istrinya, dia mendirikan produksi garam di sekitar area rumah yang lambat laun usahnya semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat. Tak selalu mulus, Samin sempat terkendala masalah modal yang entah tidak tahu harus cari di mana.
Dia kemudian meminjam di bank namun ditolak karena keadaan tempat produksinya yang masih dinilai tidak akan mendapatkan profit. Tak putus asa, Sanim mengitari berbagai bank hingga dia menemukan bank yang mau meminjamkan uangnya sehingga usahanya masih bisa maju.
Berkat kegigihan dan ketekunannya, usaha keras Sanim membuahkan hasil yang luar biasa. Keuntungan pabrik garam Sanim bisa mencapai Rp400 juta per bulan, bahkan saat harganya naik bisa mencapai setengah miliar lebih.
Saat ini, Sanim sudah memiliki dua pabrik besar sebagai tempat industri garamnya, dalam satu hari ada lebih dari enam truk besar yang siap mengangkut garam milik Sanim. Dia juga mempekerjakan ratusan karyawan, dan dia juga memiliki 10 mobil berkat hasil dari produksi garam buatannya.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait