Puisi: Kama
Senin, 03 Oktober 2022 | 02:46 WIB
Oleh: Maman Abdurohman
Wahai yang tida bermula
"Telah kulihat di ujung pedang di atas kilatan kaki kuda yang berderap dan telah kucium harumnya mawar berselimut duri-duri tajam, ketika pisau tajam mengintimi kulit leher ismail yang halus bagai sutera, digantinya gibas putih yang digembalakan 40 musim ; bagi hati yang ditelan kama, baginya tiada bedanya.
Semua yang berasal dari sang kekasih adalah suluh api di bukit sina'i meski seluruh sayapku patah tertumpah darah merangkak bertongkatkan paruh karenanya, biarlah cinta ini apa adanya.
Wahai yang tiada akhirnya.
Editor : Mahesa Apriandi