SERANG, iNewsBanten - Kisah ‘Khariqun lil Adat’ atau karomah para Wali Allah banyak kita dengar. Salah satunya adalah karomah (kelebihan yang diberikan Allah kepada orang-orang alim dengan tingkat keimaman yang sangat luar biasa) Syaikhona Kholil atau Kiai Kholil atau Mbah Kholil.
Ulama besar asal Bangkalan, Madura itu, doanya selalu didengar dan dikabulkan Allah. Salah satu karomah Kiai Kholil Bangkalan adalah kisah pencuri timun terbujur kaku, tegak berdiri, tidak bisa didudukkan usai mencuri timun di ladang para petani.
Begini kisahnya. Ketika itu, para petani timun di Bangkalan resah. Setiap masa panen, timun selalu dicuri maling. Kondisi ini kemudian mendorong para petani bersepakat untuk sowan ke Kiai Kholil dengan harapan mendapatkan solusi.
Saat ditemui para petani, Kiai Kholil sedang mengajarkan Kitab Nahwu Jurmiyah, kitab tentang tata bahasa arab untuk para santri tingkat pemula. Saat itu, pembahasan Kitab Nahwu Jurmiyah oleh Kiai Kholil sampai pada kalimat Qoma Zaidun yang berasal dari kata Zaid, artinya telah berdiri.
Para petani pun melontarkan bahwa akhir-akhir ini, ladang timun para perani selalu menjadi sasaran maling.
“Kami mohon kepada Kiai Kholil untuk penangkalnya,” keluh seorang petani.
“Karena pengajian ini sampai pada Qoma Zaidun, ya Qoma Zaidun ini saja dipakai debagai penangkalnya,” tutur Kiai Kholil menjawab pertanyaan para petani.
Berbekal keyakinan dari Kiai Kholil, para petani keesokan harinya kembali beraktivitas di ladang mereka.Namun setiba di ladang, para petani dibuat kaget dengan keberadaan beberapa sosok pria yang berdiri seperti patung, tidak bisa didudukkan.
Ternyata pria-pria itu adalah pencuri timun yang selama ini meresahkan di kala setiap masa panen. Upaya para petani membuat tubuh para pencuri timun itu duduk, tidak pernah membuahkan hasil. Kejadian di luar akal manusia itu merebak di khalayak masyarakat.
Para petani kemudian memutuskan kembali ke Kiai Kholil, untuk menceritakan peristiwa yang terjadi di ladang-ladang timun mereka.
Setelah berbincang sejenak, Kiai Kholil kemudian membekali para petani dengan segelas air penangkal yang nantinya dipercikkan ke tubuh para pencuri timun. Hanya sekali percik, tubuh para pencuri timun jatuh, lunglai dengan posisi duduk.
Sejak saat itu, tidak pernah lagi terjadi pencurian timun di ladang-ladang para petani. Sebagi ungkapan terima kasih, para petani timun berbondong-bondong bersedekah timun ke pesantren dengan diangkut dokar.
Dari peristiwa tersebut bisa dipetik pelajaran bahwa kalimat Qoma Zaidun hanyalah sebaris huruf. Tidak ada daya dan kekuatan, siapapun bisa mengucapkannya. Namun si pengucap kalimat itulah yang lebih penting.
Kisah karomah Kiai Kholil yang tidak kalah hebat adalah ketika selembar kertas, lebih berat dari seekor sapi berukuran besar saat ditimbang.
Kisahnya, saat itu seorang santri memohon agar Kiai Kholil Bangkalan memimpin doa tahlil di daerah Gresik. Karena bersyukur permintaanya dikabulkan, maka santri tersebut menyembelih seekor sapi untuk sedekah.
Namun santri tersebut kecewa saat pelaksanaan tahlil. Sebab, Kiai Kholil Bangkalan hanya membaca laa ilaha illallah sebanyak tiga kali, serta ditutup dengan bacaan Muhammadurrasulullah lalu diakhiri doa. Tahlil berlangsung sangat singkat dan padat.
Karena penasaran, beberapa hari kemudian santri datang lagi menemui Kiai Kholil Bangkalan. Dia kemudian mengutarakan isi hatinya.
"Kiai, saya kan sudah menyembelih sapi, masak tahlil hanya tiga kali?" tanya santri tersebut.
Kemudian Kiai Kholil Bangkalan dengan tenang memberi jawaban. "Kamu masih punya satu ekor yang lebih besar kan di rumah? Besok dibawa ke sini ya!" katanya dikutip dari bangkitmedia dan dutaislam.
Nah, keesokan harinya santri tersebut kembali lagi menghadap Mbah Kholil dengan menuntun seekor sapi berukuran besar. "Besar juga ya sapi kamu, lebih besar daripada yang disembelih saat tahlilan kemarin," kata Mbah Kholil sambil menepuk-nepuk sapi.
Santri tersebut tersenyum dan sedikit bangga mendengar pujian tersebut. Selanjutnya di depan para santri lainnya, Mbah Kholil meminta dibuatkan timbangan besar dari glugu (batang kelapa) dan dibawakan secarik kertas.
Setelah timbangan dari pohon kelapa telah jadi, sapi milik santri ditambatkan di sisi kiri. Timbangan pun timpang, berat sebelah.
Namun yang membuat takjub, Mbah Kholil kemudian menulis kalimat tahlil tiga kali dan kalimat Muhammadurrasulullah, yang sama persis saat memimpin tahlil di kediaman santri tersebut.
Kertas tersebut kemudian ditaruh di timbangan sebelah kanan. Ajaibnya, timbangan jadi berat sebelah ke kanan. Sapi gemuk yang ada di sebelah kiri jadi kalah berat dengan selembar kertas yang ditulis Kiai Kholil Bangkalan. Semua santri yang menyaksikan terkaget-kaget.
Biografi Kiai Kholil Bangkalan
Kiai Kholil Bangkalan bernama asli Muhammad Kholil, merupakan putra dari KH Abdul Lathif. Kiai Kholil Bangkalan lahir pada 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan,
Kiai Kholil Bangkalan merupakan guru dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahlatul Ulama (NU), dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Dalam perjalanan hidup Kiai Kholil Bangkalan, sempat belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur pada sekitar 1850-an. Ketika itu usianya menjelang 30 tahun.
Selepas dari Ponpes Langitan, Kiai Kholil Bangkalan belajar ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Ponpes Keboncandi serta kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri.
Selanjutnya Kiai Kholil Bangkalan menimba ilmu di Mekkah selama belasan tahun. Saat berada di Mekkah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kiai Kholil bekerja sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Setelah pulang ke tanah air, Kiai Kholil Bangkalan terkenal sebagai ahli nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Dia kemudian mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kiai Muhammad Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda. Dia dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
Editor : Mahesa Apriandi