get app
inews
Aa Text
Read Next : Ketua Forum Kebangsaan Banten: Soeharto Layak Pahlawan Nasional, Tolak Penilaian Emosional.

Lima Tahun Tinggal di Gubuk Terpal, Keluarga Miskin di Lebak Menanti Uluran Pemerintah

Kamis, 26 Juni 2025 | 19:09 WIB
header img
Kondisi rumah tidak layak huni di Kabupaten Lebak.

LEBAK, iNewsBanten – Potret kemiskinan di Kabupaten Lebak kembali menyayat hati. Sepasang suami istri, Ratna (45) dan Madsupi (45), bersama empat orang anaknya, harus bertahan hidup di sebuah gubuk beratap terpal di Kampung Pasir Gemuh, Desa Cigoong Utara, Kecamatan Cikulur. Selama lima tahun terakhir, keluarga ini hidup dalam kondisi memprihatinkan dan nyaris tanpa perhatian pemerintah.

 

Mereka tinggal di gubuk sederhana berukuran sekitar 3x5 meter sejak rumah tempat tinggal mereka roboh akibat hujan deras dan angin kencang pada 2019. Sejak saat itu, mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal layak dan hanya bisa membangun hunian darurat dari bahan seadanya.

 

Ketika disambangi, terlihat jelas kondisi bangunan mereka yang sangat tidak layak huni. Dindingnya dari terpal usang, lantainya masih tanah, dan perabot rumah tangga berserakan karena sempitnya ruangan. Ironisnya, lokasi tempat mereka tinggal hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota Rangkasbitung, pusat pemerintahan Kabupaten Lebak.

 

"Sudah lima tahun kami tinggal di sini, sejak rumah kami ambruk tahun 2019 akibat bencana," tutur Ratna sambil menahan sedih. Kamis, (26/06/2025).

 

Pasca kejadian itu, Ratna dan keluarga sempat menumpang tinggal di lahan milik desa di wilayah Kampung Sampay, Kecamatan Warunggunung. Lahan tersebut bukan milik pribadi, melainkan pinjaman dari warga yang berbaik hati.

"Saya cuma numpang di lahan orang, disuruh tinggal di sini untuk sementara. Tapi sampai sekarang belum ada solusi dari pemerintah," jelasnya.

 

Karena himpitan ekonomi, keluarga ini tak punya pilihan selain bertahan di gubuk terpal. Madsupi yang hanya bekerja sebagai tukang tambal ban pun kini pendapatannya tidak menentu. Sementara kebutuhan harian terus berjalan, belum lagi biaya pendidikan anak-anak mereka.

 

"Kalau boleh jujur, ingin sekali punya rumah seperti orang lain. Tapi penghasilan suami juga nggak tentu. Kadang ada uang, kadang sama sekali tidak dapat," ungkap Ratna lirih.

 

Di tengah keterbatasan hidup, Ratna tetap berusaha menyekolahkan anak-anaknya. Dua dari lima anaknya masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) di kampung asal mereka. Setiap hari ia harus mengantar jemput mereka sejauh beberapa kilometer.

 

"Satu anak belum dapat kerja, satu lagi baru lulus, dua masih sekolah. Setiap hari saya antar jemput ke kampung. Kadang untuk beli bensin saja harus ngutang dulu," keluhnya.

Ratna juga mengaku sudah berkali-kali mengajukan permohonan bantuan rumah ke pihak desa dan kecamatan. Ia sudah menyerahkan fotokopi KTP, KK, bahkan rumahnya telah beberapa kali didokumentasikan petugas. Tapi hingga kini tak ada kabar lanjutan.

 

"Petugas sudah sering datang, katanya mau bantu. Tapi ujung-ujungnya tidak pernah ada realisasi. Camat juga dulu pernah datang tapi hasilnya nihil. Saya pasrah, seolah dianggap tak ada," tambahnya.

 

Meski hidup dalam ketidakpastian, Ratna masih menyimpan harapan agar ada pihak pemerintah atau para dermawan yang peduli dan bersedia membantu mereka memiliki rumah layak huni. Ia tidak berharap mewah, hanya cukup untuk berlindung dan kembali merasa punya ‘rumah’.

 

"Harapan saya, ada perhatian dari pemerintah. Enggak usah mewah, asal bisa buat pulang dan tinggal dengan tenang," ucapnya penuh harap.

 

Kisah keluarga ini mencerminkan wajah kemiskinan yang masih terjadi di Banten. Di tengah geliat pembangunan, masih banyak rakyat kecil yang merasa ditinggalkan dan terpinggirkan dari hak dasar: tempat tinggal yang layak.

Editor : Mahesa Apriandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut