get app
inews
Aa Text
Read Next : Soal Proyek PSEL Tangsel, Pengamat: Masyarakat Sabar Karena Hasilnya Untuk Masa Depan Anak

Krisis Sampah di Tangsel, Pengamat: Perpres 109/2025 Tak Berlaku Surut

Senin, 15 Desember 2025 | 13:35 WIB
header img
Krisis Sampah di Tangsel, Pengamat: Perpres 109/2025 Tak Berlaku Surut

TANGSEL, iNews Banten- Pengamat Kebijakan Publik Yanuar Wijanarko menilai proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik di Kota Tangerang Selatan tidak dapat dibatalkan begitu saja meski telah terbit Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Percepatan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik.

Menurut Yanuar, Peraturan Presiden tersebut secara eksplisit menyebutkan mulai berlaku sejak 10 Oktober 2025, sehingga secara hukum bersifat prospektif dan tidak berlaku surut.

“Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 berlaku sejak ditetapkan. Artinya, regulasi ini tidak dimaksudkan untuk mengatur atau membatalkan peristiwa hukum yang sudah terjadi sebelum tanggal tersebut,” ujar Yanuar di Tangerang Selatan, Senin,(15/12/2025).

Ia menjelaskan, seluruh ketentuan baru dalam Peraturan Presiden terkait mekanisme penyelenggaraan pengolahan sampah menjadi energi listrik, penetapan harga jual listrik, hingga pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah—baru berlaku setelah tanggal penetapan.

“Karena itu, proses yang sudah berjalan sebelumnya, termasuk yang dilakukan Pemerintah Kota Tangerang Selatan, tetap memiliki dasar hukum dan kepastian,” katanya.

“Selama pelelangan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku pada masanya, maka tidak ada alasan hukum untuk menyatakan proses itu otomatis batal,” tegasnya.

Menurut Yanuar, terdapat setidaknya tiga alasan utama mengapa proyek yang telah berkontrak sulit dibatalkan. Pertama, dari sisi perlindungan hukum kontrak, perjanjian jual beli listrik yang telah ditandatangani diakui sebagai dasar keberlanjutan proyek dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025, khususnya Pasal 31 huruf a.

Kedua, dari aspek kepastian investasi, investor telah mengeluarkan dana besar berdasarkan kontrak yang sah, sehingga pembatalan sepihak oleh pemerintah berpotensi memicu sengketa hukum di pengadilan atau arbitrase.

Ketiga, pembatalan proyek hanya dimungkinkan dalam kondisi terbatas, seperti adanya keadaan memaksa atau force majeure yang diatur dalam kontrak, atau jika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Perubahan regulasi secara umum, kata Yanuar, bukan merupakan wanprestasi dan sulit dikategorikan sebagai force majeure.

“Pembatalan biasanya hanya dimungkinkan jika terjadi keadaan memaksa atau wanprestasi. Perubahan regulasi secara umum bukan alasan yang cukup untuk menghentikan proyek yang sudah sah secara hukum,” kata Yanuar.

Menurutnya, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 seharusnya dipahami sebagai instrumen untuk menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah, bukan untuk meniadakan langkah yang telah lebih dulu ditempuh pemerintah daerah.

“Jika proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik sudah memiliki kontrak dan perjanjian jual beli listrik, maka regulasi ini justru memberi ruang agar proyek tetap dilanjutkan. Pembatalan sepihak berisiko menimbulkan sengketa hukum yang mahal bagi pemerintah,” kata Yanuar.

Selain persoalan kepastian hukum proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik, Yanuar menilai Pemerintah Kota Tangerang Selatan tidak boleh menjadikan PSEL dan relokasi TPA sebagai alasan menunda penanganan krisis yang sudah terjadi di TPA Cipeucang. Menurut dia, selama solusi jangka panjang belum terwujud, pemerintah wajib menghadirkan langkah-langkah transisional yang terukur dan berpihak pada keselamatan warga.

Yanuar menyebut, absennya solusi sementara justru memperpanjang penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA. Salah satu langkah mendesak adalah menetapkan zona penyangga (buffer zone) minimal 500 meter antara TPA dan permukiman, untuk menekan dampak pencemaran udara, air, dan risiko kesehatan. “Tidak adil jika warga terus menanggung dampak, sementara negara menunggu proyek besar yang belum tentu cepat terealisasi,” ujarnya.

Ia juga mengkritik lemahnya pengawasan terhadap arus truk pengangkut sampah. Menurut Yanuar, TPA Cipeucang berpotensi menjadi tempat pembuangan lintas wilayah akibat minimnya kontrol di lapangan. Kondisi ini, kata dia, bukan hanya melanggar prinsip pengelolaan sampah berbasis wilayah, tetapi juga mempercepat overkapasitas TPA. “Jika truk dari luar Tangerang Selatan dibiarkan masuk, itu bentuk pembiaran administratif,” katanya.

Selain itu, Yanuar mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap UPT TPA Cipeucang. Evaluasi tersebut, menurutnya, harus menyentuh aspek tata kelola, disiplin operasional, hingga akuntabilitas pengawasan. “Masalah TPA bukan semata soal teknologi, tapi soal manajemen. Jika unit pelaksana tidak dibenahi, PSEL sekalipun tidak akan menyelesaikan akar persoalan,” ujarnya.

Yanuar menegaskan, kebijakan lingkungan tidak boleh menunggu proyek besar rampung. Pemerintah daerah, kata dia, berkewajiban memastikan bahwa selama masa transisi, pengelolaan sampah tidak menciptakan krisis baru bagi warga. “Solusi jangka panjang penting, tetapi kegagalan menghadirkan solusi antara adalah bentuk kelalaian kebijakan,” pungkasnya.

Editor : Mahesa Apriandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut