Pada tahun 1938 saat Bung Karno dibuang ke Bengkulu oleh kolonial Belanda, Haedar mengisahkan bahwa Putra Sang Fajar tersebut resmi menjadi anggota dan pengurus pendidikan Muhammadiyah. Selepas pengasingan di Bengkulu lalu menjadi presiden, Bung Karno tetap merawat identitas kemuhammadiyahannya.
Di Ende, kata Haedar, Bung Karno memperkenalkan pemikiran-pemikiran Islam yang progresif dan mengutarakan alasan bergabung Muhammadiyah. Dengan tegas Bung Karno menuturkan bahwa Muhammadiyah sejalan dengan alam pikirin dirinya yakni menghadirkan Islam yang progresif.
“Bung Karno mengatakan kenapa saya masuk menjadi anggota Muhammadiyah karena Muhammadiyah bagi dia sesuai dengan alam pikirannya, yakni menghadirkan Islam yang progresif, dan Kyai Dahlan menghadirkan regeneration dan redifination atau peremajaan dan pemudaan pemikiran Islam dan gerakan Islam,” ujar Haedar.
Bisa dikatakan, Bung Karno dengan Muhammadiyah dipertemukan dengan visi keislaman yang sama, yaitu Islam berkemajuan. Pada tahun 1962 ketika Muktamar Muhammadiyah untuk usianya yang ke-50 tahun, Bung Karno meminta namanya tetap dicatat sebagai kader dan ketika meninggal dikafani bendera Muhammadiyah.
Editor : Mahesa Apriandi