Penulis adalah Mahasiswi Program Doktor Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hassanudin Makassar.
Penulis juga merupakan Konselor Kesehatan jiwa dan Konselor Penyakit menular Seksual/HIV. Dan juga merupakan Pekerja Sosial yang sudah mendapatkan sertifikat dari Kementrian Sosial RI. Penulis juga orang yang concern dengan Pencagahan Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS sejak tahun 2000 dan mempunyai Klinik Pratama yang terintegrasi dengan aplikasi SIHA ( Sistem Informasi HIV/AIDS ) di DKI Jakarta. Penulis juga merupakan Direktur Yayasan Nurani Hati Peduli for Next Indonesian Generation sejak tahun 2015. Telah melakukan Penyuluhan kesekolah menengah umum seluruh DKI Jakarta dan bekerjasama dengan Sudin Pendidikan Jakarta Barat, Penulis merupakan anggota KPA Jakarta Barat, Utara, Selatan,Pusat,Timur.
Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mendesak dan kompleks adalah pencegahan HIV pada remaja di Indonesia. Penerapan etika kesehatan adalah faktor kunci yang menentukan keberhasilan pencegahan HIV pada remaja. Untuk memastikan bahwa remaja mendapatkan akses yang adil ke informasi dan dilindungi dari diskriminasi dan stigma, kebijakan dan program pencegahan HIV harus didasarkan pada prinsip-prinsip etika kesehatan seperti keadilan, otonomi, dan tidak merugikan.
Keadilan menuntut agar setiap remaja di Indonesia memiliki akses yang sama terhadap informasi dan layanan kesehatan terkait pencegahan HIV, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau wilayah geografis, memiliki akses yang sama terhadap informasi dan layanan kesehatan terkait pencegahan HIV. Namun, fakta menunjukkan bahwa ada kesenjangan. Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan pada 2017, hanya 35% remaja memiliki pemahaman yang memadai tentang HIV/AIDS. Ini menunjukkan bahwa pendidikan HIV masih tidak merata dan belum mencapai target yang diharapkan di sekolah dan komunitas.
Untuk memperbaiki situasi ini, metode yang lebih inklusif dan adil harus diterapkan. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan akses ke sumber daya informasi yang ramah remaja dan memperluas program pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Edukasi seksual yang menyeluruh dan berbasis bukti sangat penting untuk melibatkan remaja, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan rentan terhadap infeksi HIV. Selain itu, penting untuk menghilangkan stigma yang sering melekat pada layanan kesehatan seksual dan reproduksi, sehingga remaja merasa aman untuk mendapatkan perawatan dan informasi. Diantaranya :
1. Otonomi Remaja dalam Pengambilan Keputusan Kesehatan
Prinsip etika otonomi menekankan bahwa setiap orang, termasuk remaja, memiliki hak untuk membuat keputusan berdasarkan pemahaman mereka tentang pilihan yang tersedia dan risiko. Ini berarti dalam pencegahan HIV bahwa remaja harus diberi pengetahuan yang akurat dan tidak bias tentang cara melindungi diri dari infeksi HIV, seperti penggunaan kondom dan tes HIV. Namun, dalam banyak konteks budaya di Indonesia, berbicara tentang kondom dan seksualitas masih dianggap tabu. Ini menghalangi remaja untuk belajar dan melakukan tindakan pencegahan yang baik.
Kebijakan yang menghormati otonomi remaja harus memberikan pendidikan yang mendalam tentang cara mencegah HIV, memberikan kondom dan tes HIV yang mudah diakses. Selain itu, menekankan pentingnya pendekatan yang tidak menghakimi dalam pelayanan kesehatan akan membantu remaja merasa dihargai dan lebih percaya diri saat membuat keputusan kesehatan. Program yang sudah berjalan, seperti Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), telah menunjukkan hasil positif dalam meningkatkan ketersediaan layanan kesehatan seksual yang ramah remaja. Namun, program ini masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut .
2. Non-Maleficence: Menghindari Dampak Negatif bagi Remaja
Prinsip "Non - Maleficence", juga dikenal sebagai prinsip "tidak merugikan," mengatakan bahwa setiap tindakan medis harus dilakukan dengan cara yang tidak akan menyebabkan kerugian lebih lanjut. Dalam hal pencegahan HIV pada remaja, ini berarti menghindari tindakan yang dapat memperburuk stigma atau diskriminasi. Sebuah laporan dari UNAIDS menunjukkan bahwa stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih menjadi penghalang utama dalam penanganan HIV di Indonesia, terutama di kalangan remaja yang melakukan perilaku yang berpotensi berbahaya atau hidup dengan HIV.
Beberapa kasus memperlihatkan bahwa remaja remaja yang akan mencoba mengakses dan mendapatkan layanan kesehatan terkait HIV paling sering mengalami diskriminasi atau perlakuan yang menghakimi. Ternyata Kondisi ini justru membuat mereka semakin enggan untuk mencari bantuan atau mendapatkan akses informasi mengenai HIV atau melakukan tes HIV, maka dengan ini akan memperbesar risiko penyebaran HIV di kalangan generasi muda.Semakin banyak dilakukan kegiatan promosi Kesehatan dan penyuluhan kepada generasi muda dan Pelatihan tenaga kesehatan untuk memberikan layanan yang inklusif dan non-diskriminatif, yang paling penting adalah melibatkan remaja dalam proses pengambilan keputusan, adalah langkah penting untuk mengatasi tantangan ini.
1. Implementasi di Indonesia
proses menerapkan atau menjalankan suatu rencana, kebijakan, atau strategi yang telah dirancang sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks yang lebih luas, implementasi mencakup langkah-langkah konkret yang diambil untuk memastikan bahwa program atau ide yang telah direncanakan dapat berjalan dengan efektif dan sesuai dengan yang diharapkan. Seperti Program Aksi Remaja, yang dijalankan oleh sejumlah LSM di Indonesia, telah berhasil mempromosikan edukasi seksual dan pencegahan HIV di kalangan remaja. Program ini menggunakan pendekatan yang berbasis komunitas dan melibatkan remaja secara aktif dalam proses edukasi, dengan fokus pada inklusivitas dan kesetaraan akses informasi.
Contoh : Seperti yang dilakukan oleh Yayasan Nurani Hati Peduli for Next Indonesian Generation, Yayasan ini sudah melakukan edukasi ke 100 sekolah Menengah atas di DKI Jakarta sejak tahun 2015, Langsung menyasar kepada remaja remaja yang sangat membutuhkan akses informasi tentang Kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit menular seksual serta HIV/AIDS. Gerakan yg dilakukan oleh Yayasan yg dipimpin oleh ibu Dian Hariani Salamen.S.Sos.,M.KM. dan juga Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Hassanudin, ini menjangkau seluruh aspek populasi kunci yg terkoneksi dengan kegiatan kegiatan yg beresiko dalam penularan penyakit menular seksual.
2. Data dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI)
menunjukkan bahwa meskipun kesadaran tentang HIV mulai meningkat, masih banyak remaja yang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan yang mereka butuhkan, terutama di daerah terpencil, karena informasi tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual masih dianggap tabu didaerah daerah terpencil tersebut. Padahal kenyataanya mereka sangat ingin mendapatkan pelbagai informasi yang masih dianggap tabu tersebut karna akses internet mereka sudah bisa menonton dan mengakses hal hal pornografi dari telpon genggam mereka dan berbagai perangkat elektronik yang sudah tersambung dengan internet.
3. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
Pelayan untuk remaja yang dijalankan di Puskesmas-puskesmas di Indonesia telah menjadi langkah awal dalam menyediakan layanan yang ramah remaja, meskipun masih menghadapi kendala dalam hal sumber daya dan cakupan.Masih banyak tenaga Kesehatan yang diskriminatif terhadap remaja menganggap tidak penting untuk memberikan pelayanan informasi kepada para remaja.
4. Peran Promotor Kesehatan yang masih diperlukan
Peran promotor kesehatan dalam pencegahan HIV sangat penting dalam upaya menekan penyebaran virus, terutama di kalangan kelompok berisiko dan masyarakat umum. Berikut adalah beberapa peran utama promotor kesehatan dalam pencegahan HIV:
- Edukasi dan Penyebaran Informasi:
Promotor kesehatan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara-cara penularan HIV dan metode pencegahan, seperti penggunaan kondom, tes HIV, serta terapi antiretroviral (ARV). Mereka berperan dalam meluruskan mitos dan kesalahpahaman yang ada di masyarakat terkait HIV.
- Meningkatkan Kesadaran:
Promotor kesehatan menjalankan kampanye kesadaran melalui berbagai media, seperti seminar, diskusi kelompok, media sosial, dan kampanye publik. Mereka fokus pada kelompok berisiko tinggi, seperti remaja, pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan komunitas LGBTQ, untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang risiko dan cara melindungi diri.
- Mendorong Penggunaan Layanan Kesehatan:
Promotor kesehatan berperan dalam mendorong masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan terkait HIV, seperti pemeriksaan rutin, konseling, dan pengobatan. Mereka juga membantu mengurangi stigma yang seringkali menjadi penghalang bagi orang untuk mengakses layanan ini.
- Memberdayakan Masyarakat:
Promotor kesehatan tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk terlibat aktif dalam pencegahan HIV. Mereka membentuk kelompok pendukung dan komunitas yang peduli pada isu ini, sehingga masyarakat dapat saling mendukung dan berbagi informasi terkait pencegahan HIV.
- Mengurangi Stigma dan Diskriminasi:
Salah satu tantangan utama dalam pencegahan HIV adalah stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Promotor kesehatan bekerja untuk mengurangi stigma tersebut dengan menyebarkan informasi yang benar dan mempromosikan sikap inklusif terhadap ODHA, sehingga mereka dapat hidup dengan martabat dan mendapatkan perawatan yang diperlukan.
- Mendukung Kebijakan Kesehatan Publik:
Promotor kesehatan juga berperan dalam mendukung implementasi kebijakan pemerintah terkait pencegahan HIV, seperti program penggunaan kondom, tes HIV sukarela, dan pendidikan seksual di sekolah. Mereka bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga kesehatan, LSM, dan pemerintah, untuk memastikan bahwa kebijakan ini dijalankan dengan efektif.
Kesimpulan
Hubungan antara etika kesehatan dan pencegahan HIV pada remaja di Indonesia sangat erat. Penerapan prinsip-prinsip etika kesehatan seperti keadilan, otonomi, dan non-maleficence sangat penting untuk memastikan bahwa setiap remaja memiliki akses yang adil dan setara terhadap informasi dan layanan pencegahan HIV. Dengan memperkuat pendidikan seksual yang inklusif dan memberdayakan remaja untuk membuat keputusan kesehatan yang tepat, Indonesia dapat mempercepat penurunan angka infeksi HIV di kalangan generasi muda. Mari kita ciptakan generasi generasi muda Indonesia yg sehat fisik dan mental, berprestasi dijauhkan dari Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS Bersama sama semua kalangan. Mari kita wujudkan Indonesia yg tidak menabukan hal hal pencegahan yang sudah seharusnya kita bisa berbagi akses informasi mengenai Kesehatan reproduksi kepada para remaja.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait