Abolisi untuk Tom Lembong Dinilai Sarat Muatan Politik, Publik Soroti Intervensi Kekuasaan

Erdi
Aktivis Untirta sebut abolisi yang diberikan sebagai bentuk intervensi kekuasaan terhadap sistem peradilan.

SERANG, iNewsBanten – Keputusan Presiden memberikan abolisi terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Langkah tersebut dinilai tidak hanya mengabaikan proses hukum yang tengah berjalan, tetapi juga memperlihatkan potensi penyalahgunaan kewenangan politik atas nama keadilan.

 

Tom Lembong sebelumnya dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, disertai denda Rp750 juta. Namun, putusan itu mendapat kritik karena dinilai belum cukup bukti kuat soal mens rea atau niat jahat, yang menjadi unsur utama dalam perkara korupsi.

 

Ricci Otto F. Sinabutar, Founder JustitiaLens, organisasi aktivis mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten, menyebut abolisi yang diberikan sebagai bentuk intervensi kekuasaan terhadap sistem peradilan.

 

“Ini bukan bentuk keberpihakan terhadap keadilan, melainkan tindakan politis untuk menutup kontroversi yang berisiko merusak citra pemerintah,” ujar Ricci kepada iNewsBanten, Jumat (01/08/2025).

Ia menambahkan, secara hukum Tom Lembong masih memiliki hak mengajukan banding karena putusan belum inkracht. Namun, pemerintah justru memilih jalan pintas dengan membatalkan proses hukum melalui hak prerogatif presiden.

 

“Ini membahayakan. Masyarakat bisa menganggap peradilan tidak lagi independen, karena bisa dibatalkan begitu saja demi kepentingan tertentu,” lanjutnya.

 

Ricci juga menyoroti konteks waktu pengambilan keputusan abolisi, yang berdekatan dengan pembahasan sejumlah regulasi kontroversial seperti RUU TNI, revisi UU Polri, hingga rencana pengesahan KUHAP baru.

"Kasus Tom Lembong bisa menjadi pengalih isu. Pemerintah dan DPR sedang menghadapi tekanan publik, dan abolisi ini jadi semacam pengalihan perhatian,” jelas Ricci.

 

Ia pun mengajak publik untuk lebih kritis dalam mengawasi kebijakan hukum dan penggunaan hak prerogatif pejabat negara, agar tidak disalahgunakan demi kepentingan kekuasaan.

 

“Keadilan tidak boleh dijadikan alat sandiwara politik. Ini saatnya masyarakat bersatu menjaga independensi peradilan,” pungkasnya.

Editor : Mahesa Apriandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network