SERANG, iNewsBanten - Masalah tanah seluas sekitar 8.600 meter persegi di Lingkungan Cikulur, Jelawe, Kota Serang, mengungkap dugaan praktik mafia tanah yang kini resmi dilaporkan ke aparat penegak hukum. Para ahli waris almarhum Iskandar, melalui perwakilannya Eman Sulaeman, menuding adanya penguasaan lahan secara sepihak yang diduga melibatkan oknum pengacara berinisial A-W serta dugaan peran aparat kelurahan setempat.
Dugaan tersebut mencuat setelah keluarga ahli waris menerima informasi bahwa tanah warisan mereka akan dilakukan penguatan klaim hukum secara sepihak oleh A-W, dengan dasar utama dokumen Letter C. Dokumen tersebut, menurut ahli waris, tidak pernah ditunjukkan secara terbuka sebelumnya dan keabsahannya patut dipertanyakan.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Eman Sulaeman menegaskan bahwa selama puluhan tahun tanah tersebut dikuasai dan dirawat oleh keluarga ahli waris tanpa pernah ada masalah hukum.
“Kami mempertanyakan Letter C itu berasal dari mana. Selama ini tanah tersebut dikuasai keluarga kami secara turun-temurun dan pajaknya dibayar terus-menerus. Tidak pernah ada masalah sebelumnya,” ujar Eman.
Sejumlah kejanggalan mulai muncul ketika, setelah dilakukan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan luas lahan, dalam rentang waktu sekitar dua minggu, lahan tersebut diduga telah dimasuki alat berat dan dikuasai secara fisik oleh pihak yang mengatasnamakan A-W. Langkah tersebut memicu protes keras dari keluarga ahli waris dan sempat menimbulkan ketegangan di lapangan.
“Anehnya, setelah pengukuran BPN, tiba-tiba muncul penguasaan fisik menggunakan alat berat. Ini bukan kebetulan, tapi patut diduga ada skenario yang sudah disiapkan,” tegas Eman.
Padahal, sebelum masalah mencuat, lahan tersebut disebut telah diminati calon pembeli dengan nilai penawaran mencapai Rp15 miliar. Fakta ini semakin memperkuat kecurigaan ahli waris bahwa penguasaan lahan tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kepentingan ekonomi tertentu.
Eman juga menyebut klaim penguasaan tanah oleh A-W hanya didasarkan pada Letter C dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), yang diduga memanfaatkan data dan dokumen milik keluarga almarhum Iskandar.
“Dasar klaimnya hanya Letter C dan PPJB. Padahal dokumen-dokumen dasar seperti kohir, peta blok, dan riwayat pajak jelas atas nama keluarga kami,” katanya.
Keluarga ahli waris juga menduga adanya peran oknum lurah, yang disebut telah menerbitkan surat keterangan warga yang tidak selaras dengan dokumen kepemilikan, peta blok, serta kondisi fisik lokasi tanah. Dugaan ini menjadi salah satu dasar laporan resmi yang kini tengah ditangani aparat penegak hukum.
Sebagai bentuk keberatan, ahli waris melaporkan perkara ini ke Polda Banten dengan melampirkan sejumlah dokumen penting, antara lain segel jual beli tahun 1957, SPPT Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Iskandar dengan Nomor Objek Pajak 36.73.040.011.003.0051.0, Kohir Nomor 1319, peta blok tanah tahun 1993–1994, serta bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sejak 1961 hingga 2025.
Menurut ahli waris, penggunaan Letter C dan surat keterangan kelurahan sebagai dasar klaim kepemilikan tanpa disertai alas hak yang sah berpotensi menyesatkan secara administratif. Dalam praktik pertanahan, Letter C sejatinya hanya merupakan data administrasi desa, bukan bukti hak kepemilikan yang berdiri sendiri, terlebih jika tidak sinkron dengan peta bidang, kohir, serta riwayat pajak yang tercatat selama puluhan tahun.
Tim iNews Banten berupaya mengonfirmasi dugaan tersebut kepada pihak kelurahan. Saat dikonfirmasi, Lurah Serang, Jaenudin, membantah adanya pelanggaran dalam proses administrasi yang dilakukan oleh pihak kelurahan.
“Kami bekerja sesuai aturan dan berdasarkan data yang ada di kantor kelurahan. Semua administrasi yang kami keluarkan mengacu pada buku induk tanah dan arsip yang dimiliki kantor kelurahan,” ujar Jaenudin.
Jaenudin juga menegaskan bahwa apabila di kemudian hari ditemukan adanya kesalahan data, hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada dirinya sebagai lurah yang saat ini menjabat.
“Kalau memang ada kesalahan, silakan ditanyakan ke lurah-lurah sebelumnya. Saya sebagai pemerintah bekerja berdasarkan data dan buku induk tanah yang ada dan tercatat di kantor kelurahan,” tegasnya.
Meski demikian, pihak ahli waris menilai klarifikasi tersebut justru menegaskan pentingnya penelusuran menyeluruh oleh aparat penegak hukum, terutama terkait proses penerbitan surat di tingkat kelurahan serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Kasus ini kembali membuka persoalan klasik dalam tata kelola pertanahan, khususnya lemahnya pengawasan terhadap penerbitan surat keterangan tanah di tingkat bawah yang kerap menjadi pintu masuk konflik dan dugaan mafia tanah. Bagi ahli waris almarhum Iskandar, perkara ini bukan semata soal nilai ekonomi lahan, melainkan menyangkut perlindungan hak hukum warga atas tanah warisan yang diduga telah dikuasai oleh para oknum mafia tanah.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait
