Dijelaskan Eben, modus operandi singkat kasus tersebut terjadi pada Mei 2017. Ketika itu, PT HNM mengajukan kredit ke Bank Banten sebesar Rp 39 miliar. “Itu kredit yang pertama (Rp39 miliar-red),” ungkap Eben didampingi Kasi Penkum Kejati Banten Ivan Hebron Siahaan.
Rincian pemberian kredit tersebut Rp15 miliar untuk kredit modal kerja dan Rp24 miliar kredit investasi. Pengajuan kredit tersebut kata Eben, untuk pembiayaan jalan tol di Sumatera Selatan. “Untuk apa (pengajuan kredit-red)? Untuk mendukung pembiayaan pekerjaan proyek APBN yaitu pekerjaan jalan tol Pematang panggang-Kayu Agung, Sumatera Selatan,” kata Eben.
Pengajuan kredit tersebut sambung Eben dengan memberikan tiga jaminan sertipikat hak milik. Adanya jaminan tersebut membuat pihak Bank Banten memberikan persetujuan untuk memberikan pinjaman. “Juni 2017 Bank Banten mengabulkan permohonan kredit dari PT HNM,” ungkap Eben.
Eben mengungkapkan dari hasil penyelidikan, sejak awal pengajuan kredit sampai dengan disetujui pemberian kredit terdapat perbuatan melawan hukum yang ditemukan. “Ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi oleh PT HNM,” kata Eben.
Syarat yang tidak dipenuhi oleh PT HNM sambung Eben adalah agunan tidak diserahkan sepenuhnya. Selain itu, agunan tidak diikat dengan hak tanggungan dan pembayaran pelaksanaan kredit yang ditransfer ke rekening pribadi direktur PT HNM.
“Hal ini melanggar syarat penandatanganan kredit dan syarat pencairan kredit yang ditetapkan dalam MoU analisis kredit dan SOP di perbankan,” tutur pria berdarah Batak tersebut.
Editor : Mahesa Apriandi