“Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), alasan ada balita, namun legitimasi moral dan sosial sebagaimana keinginan masyarakat sangat lemah,” ujarnya.
“Ada diskriminasi perlakuan hukum antara PC dan kaum proletar. Keadilan bagi semua, yang digaungkan dan tercantum dalam konstitusi kita hanyalah kamuflase saja,” imbuh Herdi, kritis.
Namun, tambahnya, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit.
“Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme,” katanya.
Herdi menyebutkan, penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial.
“Inilah cara berhukum para penegak hukum, seolah seperti tanpa nurani dan memerhatikan keadilan masyarakat,” tutupnya.
Editor : Mahesa Apriandi