Keberlanjutan bahan bakar mungkin terlihat tidak masuk akal dalam kasus truk pertambangan seukuran eDumper. Namun, sebenarnya itu merupakan salah satu fokus dari proyek tersebut.
Ketika merancang kendaraan listrik terbesar di dunia, tim mengetahui ini akan beroperasi di tambang, mengangkut batu kapur dan napal dari area penambangan yang lebih tinggi ke pabrik pemrosesan yang lebih rendah.
Karena itu, tim perancang memutuskan menggunakan energi yang dihasilkan selama penurunannya untuk menggerakan pendakian selanjutnya ke lereng tambang.
Ketika turun dengan muatan penuh, eDumper bisa menghasilkan energi lewat break disks menyimpannya di baterai raksasanya alih-alih melepaskannya ke lingkungan.
Semakin besar bobotnya, maka semakin tinggi energi break disks yang dihasilkan. Kemudian, pada masksimum 123 ton, mobil tersebut bisa menghasilkan energi yang cukup untuk menggerakannya ke atas lereng tambang.
EMPA memperkirakan, bahwa eDumper bisa mengangkut lebih dari 300.000 ton batu per tahun. Itu berarti dalam 10 tahun bisa menghemat 1.300 ton CO2 dan 500.000 liter solar.
Kendati pada awalnya dibuat sebagai kendaraan mandiri, eDumper tidak bisa menghasilkan 100 persen energi yang digunakannya setiap hari, khususnya di musim dingin, ketika pengoperasian baterai tidak optimal.
Sebab itu, truk listrik terbesar di dunia harus menghabiskan waktu singkat untuk mengisi daya setiap hari. Penting juga ditunjukkan biaya eDumper kira-kira 2,5 kali lipat dari truk sampah Komatsu 605-7 HD bertenaga diesel. Ini menjadikannya investasi kurang ideal bagi sebagian besar perusahaan.
Tapi, meski belum bisa menghemat biaya untuk mengandalkan dump truck elektrik, eDumper menjadi bukti penggunaan elektrik bisa dilakukan untuk kendaraan besar seperti kendaraan tambang.
Artikel ini sudah tayang di iNews.id
Editor : Mahesa Apriandi