Setelah berbincang sejenak, Kiai Kholil kemudian membekali para petani dengan segelas air penangkal yang nantinya dipercikkan ke tubuh para pencuri timun. Hanya sekali percik, tubuh para pencuri timun jatuh, lunglai dengan posisi duduk.
Sejak saat itu, tidak pernah lagi terjadi pencurian timun di ladang-ladang para petani. Sebagi ungkapan terima kasih, para petani timun berbondong-bondong bersedekah timun ke pesantren dengan diangkut dokar.
Dari peristiwa tersebut bisa dipetik pelajaran bahwa kalimat Qoma Zaidun hanyalah sebaris huruf. Tidak ada daya dan kekuatan, siapapun bisa mengucapkannya. Namun si pengucap kalimat itulah yang lebih penting.
Kisah karomah Kiai Kholil yang tidak kalah hebat adalah ketika selembar kertas, lebih berat dari seekor sapi berukuran besar saat ditimbang.
Kisahnya, saat itu seorang santri memohon agar Kiai Kholil Bangkalan memimpin doa tahlil di daerah Gresik. Karena bersyukur permintaanya dikabulkan, maka santri tersebut menyembelih seekor sapi untuk sedekah.
Namun santri tersebut kecewa saat pelaksanaan tahlil. Sebab, Kiai Kholil Bangkalan hanya membaca laa ilaha illallah sebanyak tiga kali, serta ditutup dengan bacaan Muhammadurrasulullah lalu diakhiri doa. Tahlil berlangsung sangat singkat dan padat.
Karena penasaran, beberapa hari kemudian santri datang lagi menemui Kiai Kholil Bangkalan. Dia kemudian mengutarakan isi hatinya.
"Kiai, saya kan sudah menyembelih sapi, masak tahlil hanya tiga kali?" tanya santri tersebut.
Kemudian Kiai Kholil Bangkalan dengan tenang memberi jawaban. "Kamu masih punya satu ekor yang lebih besar kan di rumah? Besok dibawa ke sini ya!" katanya dikutip dari bangkitmedia dan dutaislam.
Nah, keesokan harinya santri tersebut kembali lagi menghadap Mbah Kholil dengan menuntun seekor sapi berukuran besar. "Besar juga ya sapi kamu, lebih besar daripada yang disembelih saat tahlilan kemarin," kata Mbah Kholil sambil menepuk-nepuk sapi.
Santri tersebut tersenyum dan sedikit bangga mendengar pujian tersebut. Selanjutnya di depan para santri lainnya, Mbah Kholil meminta dibuatkan timbangan besar dari glugu (batang kelapa) dan dibawakan secarik kertas.
Editor : Mahesa Apriandi