Biomassa sangat kompetitif untuk memenuhi target dekarbonisasi di Indonesia. Hal ini karena biaya listrik Levelized Cost of Electricity (LCOE) energi cofiring biomassa lebih rendah bila dibandingkan akselerator energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya. Penggunaan teknologi cofiring ini menandakan komitmen Indonesia untuk mempercepat tujuan Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060, apalagi PLTU merupakan salah satu penyumbang emisi CO2 terbesar. Dengan memanfaatkan biomassa dalam teknologi cofiring pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), PT PLN (Persero) berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 1,05 juta ton CO2e dan menghasilkan 1,04 terawatt hour (TWh) energi bersih di tahun 2023.
Implementasi program cofiring juga merupakan bentuk optimalisasi pemanfaatan sumber biomassa di Indonesia mengingat Indonesia sebagai negara tropis yang subur dan memiliki sumber biomassa yang melimpah. Sumber biomassa ini dapat berasal dari limbah pertanian, perkebunan, dan hutan. Dalam jangka panjang untuk menjamin keberlanjutan pasokan biomassa pada pelaksanaan program cofiring diperlukan pembangunan Kebun Tanaman Energi.
Peran masyarakat diprogram pembangunan kebun tanaman energi dilakukan melalui pemanfaatan lahan masyarakat. Pemanfaatan lahan masyarakat sebagai kebun tanaman energi dapat dilakukan dengan beberapa pola tumpangsari yaitu pola tanam Alley Cropping (Tanaman Lorong) dan pola tanam Enrichment Planting (Tanaman Pengayaan) menggunakan tanaman Gamal (Gliricidia sepium) dan Kaliandra (Calliandra calothyrsus)," tutupnya.
Editor : Mahesa Apriandi