TANGERANG, iNewsBanten - Tingkat partisipasi pada Pilkada Serentak 2024 menimbulkan sorotan publik. Mulai dari kalangan pengamat politik, elit partai sampai aktivis peduli demokrasi. Pasalnya, di tahun 2024 merupakan pertama kalinya pilkada digelar secara serentak di seluruh wilayah, hanya sekitar 9 bulan setelah masyarakat memberikan suaranya pada pilpres dan pileg.
Namun berita informasi tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 pada 27 November 2024 justru anjlok dibandingkan Pilpres dan Pileg 2024 yang digelar pada 14 Februari 2024. Hasil dari pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat petang, dari 98,5 persen data yang masuk, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16 persen, berbeda dari 9 bulan sebelumnya, mencapai 80 persen lebih.
Koordinator Divisi Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat KPU RI August Mellaz mengatakan, tingkat partisipasi Pilkada 2024 secara nasional tak sampai 70 persen.
"Dari data-data yang tersedia memang di bawah 70 persen, tapi tentu kalau di-zoom-in masing-masing provinsi dan kabupaten/kota beda-beda. Ada juga ya provinsi sudah 81 persen, ada yang 77 persen, ada yang memang 54 persen, itu masih ada," kata Mellaz dalam jumpa pers, Jumat (29/11/2024).
Hal ini diungkapkan alasan menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak tahun 2024 oleh DPR dan pemerintah yang menilai kompak bahwa pemilih jenuh karena jarak pilpres, pileg, dan pilkada terlalu berdekatan. Maka dari itu, ada wacana untuk memisah tahun pelaksanaan pemilu dan pilkada patut dipertimbangkan.
Berbeda dengan alasan tersebut, Koordinator Sua.ra Logika Topan Bagaskara mengatakan alasan yang dilontarkan pemerintah terlalu normatif. Menurutnya ada sisi lain lebih fundamental yang dirasakan masyarakat luas. Praktik demokrasi transaksional atau politik uang yang bermuara pada pembelian jumlah suara pasangan calon secara terorganisir nasional.
"Kekecewaan itu disebabkan karena pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang masih jauh dari nilai-nilai ideal. Di mana perolehan suara diraih melalui transaksi uang, bukannya ide dan gagasan serta kemauan dan kepedulian untuk membangun," ungkap Topan.
Topan juga melanjutkan kondisi ini yang melahirkan kejenuhan dalam demokrasi Indonesia, bukan jenuh karena jarak pemilihan. Pesta demokrasi di Indonesia selalu saja diwarnai prilaku ini. Apalagi ada dugaan dalam Pilkada kali ini Pejabat Daerah, TNI/Polri ikut terlibat memenangkan salah satu paslon.
"Karakteristik (politik uang) ini merupakan roh dari demokrasi kapitalis. Di satu sisi lagi, rakyat yang sudah terlalu lama dikecewakan sehingga menjadi apatis, skeptis dan pesimis. Suasana Ini yang menciptakan kejenuhan demokrasi di Indonesia," tambahnya.
Selain itu, Topan menegaskan nilai-nilai ideal demokrasi Indonesia harus kembali diletakkan pada wilayah demokrasi kerakyatan yang berjarak pada demokrasi liberal-kapitalis.
"Demokrasi kerakyatan tentu akan menyentuh nilai kolektif, kesetaraan dan kemanusiaan," tegas Topan.
Editor : Mahesa Apriandi