get app
inews
Aa Text
Read Next : Dari Banten ke Papua Tengah: Belajar Membangun Desa Lewat Koperasi

Kader PERMAHI Banten Suarakan #SaveRajaAmpat: Ini Bukan Isu Papua, Ini Isu Bangsa

Sabtu, 07 Juni 2025 | 22:46 WIB
header img
Kader PERMAHI Banten Suarakan #SaveRajaAmpat: Ini Bukan Isu Papua, Ini Isu Bangsa (ist)

iNewsBanten.id – Kawasan konservasi laut dunia, Raja Ampat, Papua Barat, tengah menghadapi ancaman serius dari ekspansi pertambangan nikel. Aktivitas eksploitasi yang dilakukan di sejumlah pulau kecil telah memicu kekhawatiran luas dari masyarakat, pegiat lingkungan, akademisi, hingga aktivis hukum.

Berdasarkan penelusuran, aktivitas tambang berlangsung di beberapa lokasi seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran – seluruhnya termasuk pulau kecil dengan ekosistem yang sangat rentan. Keberadaan tambang di pulau-pulau tersebut dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang pertambangan di wilayah tersebut.

Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 turut memperkuat larangan tersebut. MK menegaskan bahwa kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), serta bertentangan dengan prinsip keadilan antargenerasi sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Rio 1992.

“Negara ini secara konstitusional berkewajiban melindungi lingkungan hidup dan menjamin keberlanjutan ekosistem. Ketika tambang justru dilegalkan di wilayah konservasi seperti Raja Ampat, maka kita sedang menyaksikan pembangkangan hukum yang terang-terangan,” ujar Ricci Otto F. Sinabutar, kader PERMAHI Banten, Sabtu (7/6/2025).

 

Ricci menambahkan, kerusakan yang ditimbulkan tambang tidak hanya merusak lanskap ekologis Raja Ampat, tapi juga mengancam mata pencaharian masyarakat adat, nelayan lokal, serta sektor pariwisata berbasis konservasi yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi rakyat.

Tailing Dibuang ke Laut, Kehidupan Laut Terancam

Salah satu metode pertambangan yang digunakan di Raja Ampat adalah Submarine Tailings Disposal (STD), yakni sistem pembuangan limbah tambang langsung ke laut. Menurut para ahli, sistem ini membawa risiko besar karena limbah tailing mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti logam berat dan senyawa kimia aktif.

“Pembuangan tailing ke laut sama saja dengan menabur racun ke surga ekosistem laut. Ini tindakan kriminal lingkungan. Ikan, terumbu karang, hingga plankton bisa mati. Bahkan manusia yang mengonsumsi ikan terkontaminasi bisa terkena dampaknya,” ungkap Ricci.

Data dari lembaga konservasi internasional menunjukkan Raja Ampat merupakan habitat 75% spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan 1.500 lebih spesies ikan. Jika kawasan ini rusak, maka dunia kehilangan salah satu titik megabiodiversitas laut terbesar di planet ini

Negara Dinilai Lemah Hadapi Oligarki Tambang

Protes terhadap tambang nikel di Raja Ampat telah meluas, terutama di media sosial dengan tagar #SaveRajaAmpat. Namun respons pemerintah pusat masih dinilai lemah dan reaktif.

“Negara terlalu sering hanya bersikap ketika tekanan publik sudah besar. Di balik layar, aktor-aktor tambang terus mendapatkan ruang beroperasi. Ini masalah politik kebijakan yang dikendalikan oleh kepentingan oligarki,” tegas Ricci.

Ia membandingkan kasus Raja Ampat dengan kerusakan ekologis lain seperti di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, yang 73 persen wilayahnya diberikan izin tambang. Akibatnya, terjadi deforestasi besar-besaran, pencemaran laut, dan kehilangan mata pencaharian warga, terutama nelayan dan komunitas adat.

Desakan untuk Tindakan Tegas dan Litigasi Strategis

Ricci mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, serta Gubernur Papua Barat Daya segera mengevaluasi seluruh izin tambang, menghentikan operasional perusahaan tambang di wilayah pulau kecil, dan membuka data dokumen AMDAL ke publik.

“Kami akan mendorong litigasi strategis dan menggugat pemerintah jika terbukti lalai melindungi kawasan konservasi. Generasi mendatang berhak atas laut yang bersih, bukan limpahan limbah tambang,” tegasnya.

Ricci juga mengajak mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat adat untuk menggalang kekuatan bersama melawan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan dan bertentangan dengan konstitusi.

Editor : Mahesa Apriandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut