Krisis Sampah di Tangsel, Pengamat: Perpres 109/2025 Tak Berlaku Surut
Kedua, dari aspek kepastian investasi, investor telah mengeluarkan dana besar berdasarkan kontrak yang sah, sehingga pembatalan sepihak oleh pemerintah berpotensi memicu sengketa hukum di pengadilan atau arbitrase.
Ketiga, pembatalan proyek hanya dimungkinkan dalam kondisi terbatas, seperti adanya keadaan memaksa atau force majeure yang diatur dalam kontrak, atau jika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Perubahan regulasi secara umum, kata Yanuar, bukan merupakan wanprestasi dan sulit dikategorikan sebagai force majeure.
“Pembatalan biasanya hanya dimungkinkan jika terjadi keadaan memaksa atau wanprestasi. Perubahan regulasi secara umum bukan alasan yang cukup untuk menghentikan proyek yang sudah sah secara hukum,” kata Yanuar.
Menurutnya, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 seharusnya dipahami sebagai instrumen untuk menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah, bukan untuk meniadakan langkah yang telah lebih dulu ditempuh pemerintah daerah.
“Jika proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik sudah memiliki kontrak dan perjanjian jual beli listrik, maka regulasi ini justru memberi ruang agar proyek tetap dilanjutkan. Pembatalan sepihak berisiko menimbulkan sengketa hukum yang mahal bagi pemerintah,” kata Yanuar.
Selain persoalan kepastian hukum proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik, Yanuar menilai Pemerintah Kota Tangerang Selatan tidak boleh menjadikan PSEL dan relokasi TPA sebagai alasan menunda penanganan krisis yang sudah terjadi di TPA Cipeucang. Menurut dia, selama solusi jangka panjang belum terwujud, pemerintah wajib menghadirkan langkah-langkah transisional yang terukur dan berpihak pada keselamatan warga.
Editor : Mahesa Apriandi