Perempuan cerdas ini pernah dipenjara oleh pemerintah Belanda pada 1932 dan menerima hukuman speechdelict atau hukuman yang diberikan kepada seseorang karena telah menjelek-jelekan pemerintah Belanda di depan umum. Seperti diketahui, Rasuna memang melakukan kritik keras terhadap pemerintahan kolonial saat itu. Ia tak pernah takut akan adanya hukuman yang akan diterima. Dinginnya lantai penjara justru semakin membakar semangatnya. Usai masa kurungannya selesai, ia melanjutkan pendidikannya ke Islamic College yang dipimpin oleh Mochtar Jahja dan Kusuma Atmaja.
Rasuna berkecimpung di Komite Nasional Indonesia sebagai Dewan Perwakilan Sumatera Barat, setelah Indonesia resmi merdeka. Beberapa jabatan penting juga sempat diembannya, seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat dan Dewan Pertimbangan Agung. Ia berpulang pada 2 November 1965 dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tanggal 3 Desember 1974.
2. Nyai Ahmad Dahlan
Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan adalah seorang pahlawan perempuan Indonesia yang dijuluki sebagai Ibu Bangsa. Ia menikah dengan KH Ahmad Dahlan dan dikaruniai 6 orang anak. Dikutip dari buku Siti Walidah: Ibu Bangsa Indonesia yang diproduksi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Siti yang lahir di Yogyakarta pada 1872, hingga usia remaja tidak pernah mengenyam pemerintah formal yang diadakan pemerintah Belanda. Saat itu, pendidikan formal hanya untuk kaum pria. Ada pula yang beranggapan bahwa bersekolah di lembaga pendidikan formal milik Belanda, bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun, hal itu tidak disetujui oleh Siti Walidah. Ia berpandangan bahwa pendidikan semestinya bisa diakses oleh seluruh pihak, termasuk perempuan. Tentunya, Siti ikut berperan dalam dibentuknya Muhammadiyah yang digagas oleh suaminya pada 1912. Ia diketahui mengusahakan pendidikan bagi kaum perempuan di beberapa kampung. Secara khusus, ia mendirikan asrama bagi gadis-gadis dan memberikan pengajaran. Pesan Siti yang sering disampaikan adalah, seorang istri harus berpenampilan sederhana dan tidak silau pada perhiasan. Ia juga menekankan bahwa perempuan tidak boleh memiliki jiwa kerdil, tetapi harus berjiwa srikandi.
Setelah KH Ahmad Dahlan meninggal pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan tetap melanjutkan perjuangan suaminya itu dan komitmennya untuk memajukan dunia pendidikan. Tanggal 31 Mei 1946, Nyai Ahmad Dahlan menutup mata untuk selama-lamanya dengan meninggalkan jejak dan nama yang harum. Pemerintah Indonesia menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 42/TK/Tahun 1971.
3. Opu Daeng Risaju
Pahlawan perempuan Indonesia berhijab selanjutnya adalah Opu Daeng Risaju. Ia lahir di Palopo, Sulawesi Selatan pada 1880. Nama aslinya adalah Famajjah. Opu Daeng Risaju merupakan gelar kebangsawanan yang diberikan oleh Kerajaan Luwu. Famajjah memang salah satu anggota kerajaan tersebut, sehingga pantas diberi gelar kebangsawanan.
Melansir Sindonews, Opu Daeng Risaju tidak pernah mendapat pendidikan formal. Padahal, ia lahir dari keluarga bangsawan. Sejak dini, ia justru digembleng dengan ajaran moral yang berlandaskan pada budaya dan agama. Ia mempelajari beberapa ilmu agama, seperti balagah, nahwu, dan fikih. Suaminya, H. Muhammad Daud, adalah seorang ulama yang pernah menetap di Mekah, anak teman ayahnya. Setelah menikah, Muhammad Daud diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Apalagi, pengetahuan agamanya sangat luas.
Opu Daeng aktif dalam organisasi PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) dan mendirikan cabang di Palopo pada 1930. Kegiatan organisasinya harus tersendat saat masa penjajahan Jepang. Pemerintah Jepang kala itu melarang adanya kegiatan organisasi yang mengarah pada pergerakan bangsa.
Ketika tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) datang ke Indonesia untuk berusaha menjajah kembali, Opu Daeng aktif dalam revolusi di Luwu. Ia membangkitkan semangat para pemuda dan melakukan mobilisasi agar pemuda bisa mudah melakukan perlawanan. Langkahnya itu ternyata menyulitkan tentara NICA. Mereka justru memburu Opu Daeng dan mencoba menghentikan upayanya. Pihak Belanda bahkan menjanjikan imbalan bagi siapa saja yang bisa menemukan Opu Daeng. Lama tak diketahui rimbanya, ia akhirnya berhasil ditangkap NICA dan mendapat penyiksaan hingga menyebabkan ia tuli. Pada usia 84 tahun, Opu Daeng Risaju meninggal dunia dan dikebumikan di pemakaman raja-raja Lokkoe di Palopo.
Editor : Mahesa Apriandi