SURABAYA, iNewsBanten - Pahlawan Indonesia kebanyakan dari Kota Surabaya dan Surabaya disebut Kota Pahlawan, Kenapa?. Sejarah singkat tentang pertempuran 10 November pada tahun 1945 di Surabaya menjadi jawabannya.
Saat itu, arek-arek Suroboyo berjuang mati-matian mempertahankan kedaulatan Indonesia dari ancaman tentara Inggris. Bagaimana tidak, dengan senjata terbatas, arek-arek Suroboyo berjuang tanpa gentar melawan tentara sekutu yang bersenjatakan lengkap.
Berdasarkan catatan sejarah, pertempuran di Surabaya ini pecah tiga bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Ketegangan ini diawali pendaratan 6.000 pasukan Inggris-India yaitu brigade 49 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby pada 25 Oktober 1945 di Surabaya.
Tujuannya, meminta tentara Jepang dan milisi Indonesia untuk melucuti senjata. Selain itu, memulangkan tawanan Jepang ke negara asalnya.
Namun, permintaan itu ditolak olah para pejuang Indonesia di Surabaya. Sebab, mereka menduga, pelucutan senjata itu hanyalah siasat. Sebab, pada kenyataannya, Belanda membonceng di belakang. Tujuannya tak lain kembali menjajah Indonesia.
Karenanya, perintuh Inggris atas pelucutan senjata pun ditolak, hingga berujung bentrokan milisi Indonesia dengan tentara Inggris di pusat Kota Surabaya.
Pada peristiwa itulah, pemimpin Inggris di Jawa Timur Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby terbunuh. Mobil yang ditumpangi Mallaby terkena bom dan terbakar dan merenggut nyawanya. Peristiwa ini membuat tentara Inggris marah besar.
Atas perintah Letjen Philip Christison, Inggris mengerahkan 24.000 pasukan untuk mengepung Surabaya. Tak hanya itu, pada 9 November mereka juga mengeluarkan ultimatum, isinya meminta milisi Indonesia untuk menyerah.
Tetapi, arek-arek Suroboyo, milisi Indonesi bergeming, hingga pertempuran sengit pun pecah pada 10 November 1945. Saat itu, pasukan Inggris menjatuhkan bom, memorakporandakan pusat Kota Surabaya, sekaligus menewaskan ribuan milisi Indonesia.
Pertempuran sengit itu berlangsung selama tiga minggu. Sengitnya pertempuran itu membuat medan perang Surabaya dijuluki “neraka” karena kerugian yang disebabkan tidaklah sedikit.
Editor : Mahesa Apriandi