JAKARTA, iNewsBanten - Presiden Soekarno atau Bung Karno memiliki kekaguman tersendiri terhadap pemikiran politik Tan Malaka. Hal itu membuat Bung Karno selalu merasa penasaran untuk bertemu sosok Tan Malaka.
Di masa mudanya, Bung Karno sudah melahap buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis Tan Malaka di tempat persembunyiannya di Canton, Tiongkok tahun 1925.
Buku kecil dan tipis itu banyak menginspirasi Bung Karno dalam mengatur irama pergerakan melawan kolonial Belanda. Dia juga sudah menghabiskan buku "Aksi Massa" yang ditulis Tan Malaka tahun 1926 namun belum sekali pun menjumpai sosok penulisnya.
Pada Juni 1943, Bung Karno sebetulnya sudah pernah bertemu Tan Malaka di wilayah Bayah, Banten. Namun dia tidak tahu kalau laki-laki yang mengaku bernama Ilyas Hussein dan sempat berdebat keras dengannya itu ternyata Tan Malaka.
Dalam autobiografinya "Dari Penjara ke Penjara", Tan yang tetap dalam penyamarannya mengaku senang bisa bertemu Bung Karno dan Bung Hatta. Hingga suatu hari di bulan September 1945, Bung Karno mendengar kabar Tan Malaka sedang berada di Jakarta.
“Bung Karno lantas menugaskan sekretaris pribadinya, Sajoeti Melik untuk mencari tahu keberadaan Tan dan mengatur pertemuan dengannya,” demikian yang tertulis dalam buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap Dari Sejarah Soekarno”.
Melalui Ahmad Soebardjo, kabar keberadaan Tan Malaka di Jakarta dapat dipastikan kebenarannya. Hanya kepada Soebardjo yang merupakan teman sekolah di Belanda, Tan Malaka bersedia membuka identitasnya.
Harry A Poeze dalam “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (2018)" menyebut pertemuan antara Bung Karno dengan Tan Malaka akhirnya terjadi. Pertemuan diam-diam itu berlangsung 9 September 1945 di rumah dokter Soeharto, dokter pribadi Bung Karno yang bertempat tinggal di Jalan Kramat Raya No 82 Jakarta.
Bung Karno meminta dokter pribadinya merahasiakan pertemuan itu. Kepada si tuan rumah, Tan Malaka mengaku bernama Abdul Razak dari Kalimantan.
“Saking rahasianya, pertemuan dengan Bung Karno digelar dalam kondisi gelap. Lampu di kamar pertemuan sengaja dipadamkan," tulisnya.
Bagi Bung Karno, pertemuan itu sangat bermakna. Karenanya, saat berhadap-hadapan langsung, Bung Karno memanfaatkan kesempatan untuk menanyakan sejumlah pemikiran Tan Malaka, terutama isi dari buku "Aksi Massa".
Semua pertanyaan dijawab Tan dengan lugas. Dalam percakapan itu, Tan Malaka banyak menjelaskan soal strategi dan prospek revolusi Indonesia. Tan memberi saran tiga hal yang itu membuat Bung Karno semakin mengagumi pemikiran pendiri Partai Murba tersebut.
Pertama, pemerintahan RI hendaknya dipindah ke pedalaman. Kedua, orang-orang Belanda dan Inggris yang ada di Indonesia segera dipulangkan, dan ketiga menjadikan Jakarta sebagai medan pertempuran melawan pasukan sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II.
Bung Karno sempat mempersoalkan alasan usulan Jakarta menjadi medan pertempuran. Sebab sebelumnya dia banyak menerima saran yang isinya justru Jakarta hendaknya disterilkan dari pertempuran. Alhasil, Bung Karno mendapat penjelasan yang membuatnya semakin kagum dengan pemikiran Tan Malaka.
Saking terpesonanya, sampai-sampai Bung Karno berujar Tan layak menggantikan posisinya jika sesuatu yang buruk menimpa dirinya.
“Kalau saya tiada berdaya lagi, kelak pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara (Tan Malaka),” kata Bung Karno.
Pada pertemuan kedua di rumah Moewardi, pemimpin Barisan Pelopor di daerah Mampang, Jakarta, Bung Karno kembali mengulangi ucapannya. Dia menegaskan Tan Malaka layak menjadi pengganti jika dirinya mengalami hal tak terduga yang mengancam keselamatannya.
Soebardjo yang mendengar cerita itu dari Tan Malaka menangkap apa yang disampaikan Bung Karno sebagai keseriusan sesama pejuang kemerdekaan. Dia lantas meminta Bung Karno menuliskan pernyataan itu di atas kertas, menjadi semacam testamen atau wasiat politik.
Bung Hatta yang diberitahu hal itu meminta pengganti yang dimaksud bukan hanya Tan Malaka, tapi ditambah Sutan Sjahrir yang mewakili kelompok kiri tengah, Wongsonegoro yang mewakili kelompok kanan dan golongan feodal serta Sukiman mewakili kelompok Islam.
Pada 1 Oktober 1945 di rumah Soebardjo, pertemuan digelar. Namun Sjahrir, Wongsonegoro, dan Sukiman tidak hadir. Diputuskan Iwa Kusumasumantri menggantikan Sukiman dengan pertimbangan teman dekat Sukiman di Masyumi. Soebardjo mengetik testamen politik itu dan langsung ditandatangani Soekarno dan Hatta.
Sayangnya, belakangan diketahui Soebardjo tidak melaksanakan tugasnya memberikan testamen politik itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Sementara atas usul Hatta, Tan Malaka lantas meninggalkan Jakarta, berkeliling Jawa untuk memperkenalkan diri kepada rakyat.
Dalam perjalanannya, Tan Malaka kemudian terbunuh di Selopanggung, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Seperti yang tertulis dalam “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap Dari Sejarah Soekarno”. Konon surat wasiat itu kemudian dihancurkan Bung Karno dengan cara dirobek-robek dan dibakar pada tahun 1964.
Editor : Mahesa Apriandi