iNewsBanten - Sarekat Islam (SI) merupakan salah satu organisasi yang tumbuh pada masa pergerakan nasional di Indonesia.
Sarekat Islam menjadi organisasi politik pertama yang berdiri dengan sifat kerakyatan.
Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto adalah pemimpin dan tokoh terkemuka dari Sarekat Islam (SI).
Tjokroaminoto memimpin SI sejak 1914 sampai 17 Desember 1934.
Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam sempat menjadi salah satu organisasi massa terbesar dalam sejarah pergerakan nasional.
Di kala SI Terpecah Menjadi Dua
SI terpecah menjadi dua yaitu SI Fraksi Putih pimpinan Agus Salim, dan SI Fraksi Merah pimpinan Semaoen.
Tjokroaminoto yang pada mulanya toleran terhadap tokoh-tokoh komunis pada akhirnya mulai memberi ketegasan.
Tahun 1923, setelah berhasil menyingkirkan anggota Sarekat Islam yang berafiliasi dengan paham kiri, Tjokroaminoto mengubah nama Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam.
Perubahan ini juga mendasari perubahan bidang yang semula organisasi massa berubah menjadi partai politik.
Tumbuhnya ideologi-ideologi baru di Hindia Belanda juga mempengaruhi Partai Sarekat Islam.
Dalam perkembangannya, untuk mengakomodir dan menjaga agar nasionalisme dan cinta tanah air tidak hanya diidentikkan dengan kaum nasionalisme, pada Kongres Nasional yang ke XIV di Jakarta pada Januari 1929, Partai Sarekat Islam memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (selanjutnya disebut PSII).
Dalam kongres ini Tjokroaminoto kembali terpilih sebagai ketua umum.
Darsono dan orang-orang SI Semarang saat itu tengah berada di bawah tekanan. Beberapa tokoh penting CSI atau Dewan Pimpinan Pusat Sarekat Islam, seperti Agoes Salim dan Abdoel Moeis yang dekat dengan Tjokroaminoto, sedang kencang-kencang nya mengumandangkan kebijakan disiplin partai. Kubu Agoes Salim mengusulkan CSI menerapkan disiplin partai. Anggota SI dilarang merangkap keanggotaan di organisasi lain. “Disiplin partai" yang dimaksud adalah "pemurnian" yang bentuk konkritnya adalah membersihkan SI dari unsur komunis.
Dengan kata lain, ada kubu besar di pusat kekuasaan CSI yang menginginkan Darsono dan kawan-kawan dikeluarkan. Mereka terindikasi merangkap anggota Perserikatan Komunis Hindia yang sebelumnya bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) bentukan tokoh komunis asal Belanda, Henk Sneevliet (Boon Kheng Cheah, From PKI to the Comintern, 1992:7).
Sebelum kebijakan disiplin partai itu benar-benar diterapkan, Darsono beserta para tokoh SI Semarang lainnya, terutama Semaoen, juga Alimin serta Hadji Mohammad Misbach, berupaya untuk tetap bertahan, termasuk dengan menyerang citra Tjokroaminoto. Harapannya, sang pemimpin besar jatuh dari tahta kepemimpinannya dan terciptalah peluang untuk mengubah arah politik internal CSI.
Darsono Menuduh Tjokroaminoto
Melalui artikel Sinar Hindia yang dimuat beruntun pada 6, 7, dan 9 Oktober 1920, Darsono menyoroti posisi rangkap yang dijabat Tjokroaminoto di CSI, yakni sebagai ketua sekaligus bendahara. Disebutkan, Tjokroaminoto meminjamkan uang sebesar 2.000 gulden untuk mengisi kas CSI yang kosong dengan jaminan mobil. Tapi anehnya, tulis Darsono, mobil tersebut dibeli oleh Bendahara CSI untuk dipakai oleh Ketua CSI, yang kedua-duanya dijabat oleh Tjokroaminoto.
“Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri," tukas Darsono.
Dalam tulisan tersebut, Darsono juga menyerang Brotosoehardjo, seorang petinggi CSI lainnya yang juga orang dekat Tjokroaminoto. Darsono rupanya berupaya mengaitkan karakter Brotosoehardjo yang dinilainya tidak jujur memberikan pengaruh buruk terhadap Tjokroaminoto karena mereka berteman sejak lama (Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism, 2006:93).
Dikutip dari, Dalam Menjadi Indonesia, Parakitri T. Simbolon
Dalam tulisanya terakhir, Darsono bertanya, “mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan perilaku tak tercela. Pergerakan bumiputra berada pada tahap yang sulit. Sudah waktunya memberesihkan diri sendiri, menebus kesalahan.”
“Nama baik keduanya, terutama Tjokroaminoto, demikian hancur sampai istilah ‘men-Tjokro’ di kalangan SI berarti ‘menyeleweng’,” tulis Parakitri.
Tuduhan Darsono itu merupakan pukulan berat bagi Tjokroaminoto di depan umum, karena dia dianggap seorang pemimpin ideal yang mewakili citra seorang Ratu Adil.
Lantas, apakah benar Tjokroaminoto korupsi atau menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua sekaligus Bendahara CSI untuk memperkaya diri sendiri?
Dugaan tersebut memang tidak pernah dapat dibuktikan secara sahih, termasuk kabar bahwa Tjokroaminoto telah menggelapkan uang hasil kampanye akbar di Surabaya pada 6 Februari 1918. Aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan massa SI itu digelar sebagai wujud protes atas perkara penistaan agama yang dilakukan oleh Martodharsono dan melahirkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM).
Tjokro jelas tidak tinggal diam. Ia menuduh ucapan Darsono sebagai serangan kepada organisasi. Agoes Salim, yang sebenarnya tidak sepenuhnya sepakat dengan Tjokro dan bahkan membangun blok sendiri, menggunakan serangan Darsono itu untuk semakin menggiatkan serangan kepada kubu Semarang.
Yang jelas, orang-orang SI Merah akhirnya benar-benar tersingkir. Sayap kiri SI ini kemudian membentuk Perserikatan Komunis Hindia (PKH) –di mana Darsono terpilih sebagai wakil ketua– yang pada 1924 resmi berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara Tjokroaminoto yang kerap diguncang isu korupsi justru tetap memimpin CSI –yang nantinya menjelma sebagai partai politik dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)– bahkan seumur hidup hingga wafatnya pada 1934, dan kelak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Tuduhan korupsi dari Darsono tak pernah diuji secara faktual sehingga hanya menjadi bagian dari dinamika partai yang sedang bergolak.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait