JAKARTA, iNewsBanten - Pada 2016, desa kecil mulai dibangun di bagian timur laut Suriah untuk menampung para korban dari okupasi ISIS di Suriah Timur. Diberi nama Jinwar, yang dalam bahasa Kurdi berarti perempuan, desa kecil ini dibuka pada 25 November 2018 bertepatan dengan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional.
Memiliki nama yang berarti perempuan dan dibuka pada hari untuk perempuan, tentunya desa ini memiliki hubungan yang erat dengan feminisme. Desa ini adalah tempat di mana para perempuan Timur Tengah bisa berjaya. Para janda yang ditinggal mati suaminya dalam perang melawan ISIS, para perempuan yang tak tahan dengan kekerasan rumah tangga yang mereka alami, para tentara perempuan dari Syrian Defense Force, semuanya diterima di Jinwar.
Lantas, seperti apa desa janda yang berada di Suriah?
1. Filosofi Nama
Nama Jinwar sejatinya terbentuk dari dua kata, yaitu ‘jin’ dan ‘war’, dilansir dari Internationalist, Jin memiliki arti ‘perempuan’ atau ‘kehidupan’, sedangkan war berarti ‘ruang’, ‘tanah’, atau ‘rumah’.
Nama Jinwar dipilih karena desa ini akan menjadi ruang bagi perempuan untuk berkumpul, tinggal, dan bekerja bersama. Desa Jinwar, sebagai buah pemikiran feminis Timur Tengah, sangat lekat dengan tiga paradigma konfederalis demokratis: demokrasi, ekologi, dan liberasi perempuan.
2. Tujuan Desa Jinwar
Desa Jinwar dibentuk untuk melawan mentalitas patriarki di dalam masyarakat Timur Tengah dan memisahkan urusan agama dengan politik, dilansir dari Washington Institute, desa ini juga dibangun sebagai “tempat alternatif yang damai untuk perempuan, bebas dari segala jenis kekerasan.”
Jinwar berlokasi di daerah merdeka di timur laut Suriah yang biasa disebut Rojava oleh orang-orang Kurdi. Aslinya, daerah ini merupakan daerah konflik yang diambil kembali oleh pihak Suriah setelah pasukan Bashar al-Assad mundur, dan kini menjadi daerah yang diawasi oleh Administrasi Otonomi Daerah Utara dan Timur Suriah.
3. Dipenuhi Lebih dari Dua Lusin Perempuan
Desa kecil ini, selain berisi rumah-rumah tinggal, juga dibangun beberapa fasilitas untuk menyokong kehidupan 30-an penduduknya. Sekolah, lahan bercocok tanam, toko-toko, dan beberapa bangunan pemerintahan yang semuanya akan dikelola oleh perempuan. Salah satu penghuni, Fatimah, berkata “kami bukan orang asing bagi satu sama lain, kami adalah perempuan yang tahu betapa beratnya menjadi perempuan.”
Meski merupakan “desa perempuan,” gerbang masuk Jinwar dijaga oleh dua tentara laki-laki yang bekerja dari pagi hingga sore. Pada malam hari, dua tentara ini akan berganti shift dengan para penjaga perempuan yang berpatroli di sekitar perimeter desa.
4. Menebarkan Benih-Benih Kemerdekaan
Di atas salah satu tembok bagian dalam desa, tertulis motto sakral yang dipercayai para perempuan Jinwar: “Sebelum perempuan bisa mengedukasi dan membela diri sendiri, tak akan ada kebebasan.”
“Kami harus membela tanah kami sendiri, bukan dengan senjata tapi dengan sekop. Kami yang membela, kami yang membebaskan, dan kami yang akan menjaga kebebasan ini sampai mati. Perempuan Jinwar tak akan meninggalkan tanah yang menyuburkan mereka,” ujar salah satu warga, Gavary, berapi-api.
Tak hanya ingin menjadi surga bagi korban kekejaman ISIS, Jinwar juga direncanakan memperluas jangkauannya ke seluruh Suriah, menyelamatkan para perempuan dari segala penjuru tanpa memandang asal mereka.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait