JAKARTA, iNewsBanten - Kisah sukses Bejo, penyandang disabilitas jadi pengusaha konveksi. Kekurangan fisik tidak jadi penghalang untuk meraih kesuksesan, salah satunya diwujudkan oleh seorang pria yang akrab disapa Bejo.
Bejo yang merupakan penyandang disabilitas ini melanjutkan studinya di D1 Komputer di Lembaga Pendidikan Kejuruan San Bastian Yogyakarta setelah menamatkan SMA. Dia pernah ditolak ketika melamar pekerjaan karena keterbatasan fisik yang dia miliki.
Namun siapa sangka, penolakan tersebut tidak membuat semangatnya kandas begitu saja. Bejo yang memang memiliki ketertarikan besar terhadap komputer kemudian mengikuti sebuah kursus sablon dengan membayar Rp175.000 di daerah Gedong Kuning.
Namun, penolakan yang pernah dialami olehnya membekas menjadi sebuah trauma sehingga sulit bagi Bejo untuk berani mengikuti praktik karena masih malu dengan kondisi fisiknya dan belum merasa percaya diri untuk mengoperasikan alat-alat.
Kisah sukses Bejo, penyandang disabilitas jadi pengusaha konveksi dimulai. Bejo yang menyelesaikan kursusnya kemudian membuat sebuah usaha packaging untuk handphone seperti plastik, kardus, dan tas pada tahun 2004.
Hasil usahanya biasanya akan disetorkannya ke konter handphone yang berada di lantai satu salah satu department store.
Selang satu tahun, pada tahun 2005 Bejo membuka usaha kembali. Kali ini Bejo bersama dengan teman sekolahnya membuka usaha konter handphone. Tapi semaunya hilang karena gempa yang terjadi pada tahun 2006.
Meski pun kekurangan secara fisik, Bejo tetap berusaha dan melakoni pekerjaan sebagai relawan penanganan pascabencana. Bejo yang bekerja dengan ikhlas tanpa mengharapkan gaji merasa kaget karena menerima uang hasil menjadi relawan sebesar Rp600.000 yang kemudian dibagikannya kepada para korban gempa.
Kemudian pada tahun 2009, Bejo membuka usaha sablon kecil-kecilan seperti dagadu dengan upah Rp400 per item. Sembari membuka usaha sablon, dia juga menjual onde-onde serta menjadi relawan. Tentu hal ini membuat Bejo kelalahan hingga terkena gejala bronchitis.
Usai beristirahat, pada akhir 2010 Bejo kembali mencoba usaha dengan membuka usaha produksi nata de coco dengan nama Trinaco yang diambil dari nama istrinya, Tri Kustina.
Bejo pada saat itu menjadi unggul karena bisa membuat nata de coco-nya bertahan lama dan tidak berjamur. Pada saat itu, nata de coco yang dikerjakan oleh tiga orang tersebut bisa diproduksi hingga 5 ton selama seminggu.
Menurut Bejo, itu merupakan pekerjaan terberat selama hidupnya karena dia harus mengumpulkan air kelapa hingga beberapa truk ke daerah Purworejo serta juga harus membantu mengangkat 25 liter air kelapa sendiri.
Seimbang, pendapatan pada saat itu terbilang fantastis yaitu Rp5,5 juta dalam seminggu. Tapi sayang sekali, pasar nata de coco yang tidak pasti membuat usaha ini tidak bisa diandalkan.
Kembali memutar otak, Bejo kembali berpikir bahwa dirinya tertarik di bidang konveksi. Bejo kemudian mengakses bantuan penyandang disabilitas dari pemerintah. Kemudian, dia juga ikut koperasi dan meminjam dana koperasi sebesar Rp10 juta.
Seiring berjalannya waktu, pada enam bulan pertama usaha Bejo memiliki omzet sebesar Rp2 juta. Sembari itu, Bejo turut mengikuti kegiatan relawan bahkan menajadi karyawan tetap. Namun setelah berpikir tidak bisa mnjalankan keduanya sekaligus, Bejo mengundurkan diri menjadi relawan dan fokus terhadap usaha konveksinya.
Setelah itu, Bejo mendapatkan orderan yang sangat banyak, bahkan relawan pun mempercayakan kaos relawan kepadanya.
Hingga 10 tahun perjalanan bisnisnya, Bejo mengaku senang dan banyak belajar. Dia bahkan juga menciptakan lapangan pekerjaan untuk para karyawannya. Menurutnya, yang paling penting adalah berdoa agar diberi kelancaran dan juga berusaha.
Itu tadi ulasan kisah sukses Bejo, penyandang disabilitas jadi pengusaha konveksi. Semoga kisahnya menginspirasi.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait