Dalam pidatonya, pria yang akrab disapa Mumu ini menekankan pentingnya orientasi baru bagi organisasi dan umat. Menurutnya, Al Khairiyah tidak lagi ingin terjebak pada polemik klasik seperti soal qunut, tahlil, maupun perbedaan syariat yang bersifat khilafiyah.
"Hari ini Al Khairiyah tidak lagi membahas perdebatan yang tidak produktif. Buat apa kita sibuk ribut soal hal-hal seperti itu? Tugas kita adalah mencerdaskan umat agar tidak terjebak dalam persoalan yang justru menghambat kemajuan," ujar Mumu.
Ia menilai bahwa mempertentangkan isu-isu agama yang sudah lama menjadi bahan perbedaan pendapat, atau bahkan mempertanyakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sudah tidak relevan di era modern ini. Justru, kata dia, umat Islam perlu berfokus pada perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
"Hari ini dunia sedang membangun kendaraan tanpa supir, membuat server di dasar laut untuk efisiensi pendinginan data, hingga menciptakan kecerdasan buatan pada level tertinggi. Kalau kita masih sibuk memperdebatkan soal jubah, kapan kita bisa produktif?" tegasnya.
Lebih lanjut, Ali Mujahidin menegaskan bahwa Al Khairiyah hadir sebagai gerakan pencerahan yang mendorong umat menjadi lebih progresif dan berpikir jauh ke depan. Ia mengajak seluruh kader dan umat untuk mengambil peran penting dalam transformasi sosial melalui pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
"Disadari atau tidak, kita yang hidup di zaman ini adalah generasi yang memikul tugas kenabian, karena tidak ada lagi nabi setelah Rasulullah SAW. Maka tugas kita adalah melanjutkan dakwah melalui pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan penguatan keagamaan," pungkasnya.
Acara Harlah ke-100 Al Khairiyah ini juga menjadi momentum refleksi peran strategis organisasi dalam membangun peradaban Islam yang adaptif dan modern di tengah perkembangan zaman.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait
