“Cukup tidak cukup, ya itu yang ada. Kami atur seadanya. Kadang ada tambahan dari kebun, atau istri bantu kerja. Alhamdulillah masih bisa bertahan,” ucapnya sambil menunduk, matanya berkaca-kaca.
Untuk sampai ke sekolah tempat ia bekerja, Cacang berjalan kaki sekitar 8-9 kilometer. Setiap hari, ia memulai perjalanan pukul 05.00 WIB dan menempuh dua jam perjalanan dengan langkah sederhana yang tak pernah putus, meski lelah dan hidup tak selalu bersahabat.
“Pulang pergi begitu terus. Kadang ada yang suka ngasih tumpangan,” tuturnya.
Rumah yang kini ditempati Cacang dibangun pada tahun 2000 dan tak pernah sekalipun direnovasi. Kondisinya semakin parah setelah sebuah pohon tumbang menimpa atap rumah beberapa waktu lalu.
“Saya tidak mampu memperbaikinya. Jadi dibiarkan saja. Sampai sekarang masih berantakan,” katanya pasrah.
Yang paling menyayat hatinya adalah ketika anak-anaknya mulai membandingkan kondisi rumah mereka dengan rumah teman-temannya.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait
