Riko Mahareza
Aktivis Mahasiswa Gemahesa Indonesia
PADA TANGGAL 1 JUNI 1945 adalah awal gagasan yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno untuk membangun sebuah pondasi yang kokoh. Sebelumnya sudah ada nama seperti Moh. Yamin dan Dr. Soepomo yang memberikan gagasannya mengenai dasar negara kelak. Pondasi itu kemudian kita kenal dengan nama Pancasila.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno menjelaskan bahwa:
“Bilangan lima itu, saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu; itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek-economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nationalisme, sosio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Gotong Royong
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua.
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara Gotong Royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih; Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi.”
Begitulah kiranya pidato yang digaungkan oleh salah satu founding father kita. Lantas, roh gotong royong yang di cita-citakan tersebut sudahkah terwujud di masa sekarang ini?
Rasanya pertanyaan tersebut yang terus mendesak kita belum sempat terjawab, melihat bagaimana bangunan yang dinamakan Indonesia ini semakin saru cita-citanya.
Namun jangan sampai cita-cita itu menjadi memudar lalu menghilang karena terbuai arus sosial media yang semakin membuat individual. Serta mengganggap perjuangan kita ini adalah buang waktu.
Gotong royong yang sejatinya merupakan intisari dari pancasila tidak boleh dilihat dari sudut pandang yang sempit. Meskipun paradigma yang diajarkan oleh pendidikan pancasila dan mata pelajaran Ppkn hanya memberikan studi kasus yang lumrah seperti melakukan kerja bakti di lingkungan rumah dengan dibumbui gambar ilustrasi orang sedang memegang pacul. Memang hal itu tidak salah, namun akan membuat makna konsepsi gotong royong menjadi terdegradasi.
Ada contoh agar makna konsepsi gotong royong itu tidak terdegradasi yaitu misalkan pada cara pandang terhadap permasalahan ekonomi, banyak yang menganggap bahwa ekonomi seseorang merupakan tanggung jawab pribadi, namun bila menggunakan semangat dan konsep Gotong Royong yang digaungkan Ir. Soekarno, masalah ekonomi adalah tanggung jawab bersama yang harus dituntaskan secara bersama.
Bila Komunisme mengamini konsepsi perjuangan kelas antara dua kelas yang mencakup sebagian besar populasi, kaum proletar dan kaum borjuis. Maka dengan sangat tegas, Bung Karno mengenalkan konsep gotong royong.
Ketika yang kaya dan yang miskin bersama mewujudkan kesejahteraan sosial dengan cara kepemilikan alat produksi yang kolektif, idustrialisme kolektif dan distribusi yang kolektif. Kesejahteraan sosial dapat terwujud jika ada rasa percaya atas manusia, maka dengan konsepsi gotong royong inilah rasa itu mampu dimunculkan kembali di masa sangat individualistis ini.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait