Atas dasar itulah, tampak bahwa satuan Infanteri kemudian menjadi satuan utama di TNI AD, karena Angkatan Darat memang “hidup” di tengah masyarakat. Wilayah itu adalah ranahnya Infanteri.
Pada konteks kondisi Indonesia kekinian, dan sejalan dengan sistem pembinaan teritorial sebagai sebuah wilayah pertahanan, maka Infanteri juga bertransformasi.
Konflik fisik ataupun konflik militer sudah sangat minim (kecuali di beberapa daerah seperti Papua), tetapi di tempat lain banyak persoalan yang dihadapi masyarakat. Infanteri mau tak mau harus turun tangan.
Kita menyebutnya modernisasi Infanteri dalam multidimensi operasi. Infanteri bukan semata-mata satuan tempur tapi juga satuan teritorial. Ia harus bisa masuk dalam semua jenis operasi, baik tempur ataupun bukan.
Begitulah, saat sekarang negara sedang dilanda berbagai persoalan bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, longsor, kebakaran hutan, maka Infanteri harus bergerak.
Jika dalam pertempuran, andalannya adalah senjata organik, dalam situasi bencana yang diperlukan adalah komunikasi sosial dan kemampuan bergerak taktis mengatasi meminimalisir korban. Mereka bukan sukarelawan, tapi tugas utama sebagai prajurit.
Ketika Cianjur dilanda gempa, rumah hancur, tanah longsor, 300 orang lebih korban jiwa, maka di hari pertama kejadian, satuan Infanteri sudah bergerak. Posko kesehatan, tenda pengungsian, dan dapur lapangan hal pertama dilakukan. Selanjutnya sembako disiapkan dan disalurkan.
Wilayah terisolasi langsung dimonitor menggunakan drone, dimasuki dan diberikan solusi darurat. Air bersih disiapkan, trauma healing dan basic life support juga digerakkan.
Tak kurang 3.550 prajurit diturunkan yang terbagi atas berbagai spesialisasi keahlian. Fokus utama adalah tanggap darurat dan minimalisir korban. Di sinilah peran besar Infanteri yang terbiasa bergerak taktis, mengomandoi berbagai kegiatan.
Di saat semua masih sibuk dalam urusan koordinasi dan “terkaget-kaget” karena bencana begitu mendadak sekaligus masih galau karena goyangan tetap terasa, Infanteri harus terus bergerak.
Editor : Mahesa Apriandi