CILEGON, iNewsBanten - Penyalahgunaan vape di kalangan remaja kerap terjadi di Indonesia. Untuk itu diperlukan regulasi agar pasar retail menjual vape secara tepat sasaran. Hal ini untuk mencegah agar vape tidak jatuh kepada remaja.
"Bukti dari banyak negara yang meregulasi vape (dengan tepat), seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Inggris, telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam jumlah pengguna vaping di kalangan remaja," kata Pakar kesehatan sekaligus mantan direktur World Health Organization (WHO), Tikki Pangestu, dikutip Jumat (7/6/2024).
Vape yang tepat sasaran dapat membantu mengurangi prevalensi perokok. Tikki menyoroti tingginya jumlah perokok di Indonesia serta beban kesehatan yang ditanggung. Menurutnya saat ini terdapat 60 juta perokok di Indonesia, serta 300 ribu kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok, seperti kanker, penyakit jantung, dan diabetes. Tantangan selanjutnya adalah menurunkan prevalensi perokok.
"Banyak pendekatan yang tersedia dan telah teruji dalam upaya menurunkan prevalensi perokok. Pendekatan baru yang berhasil diterapkan di banyak negara melibatkan penggunaan produk tembakau alternatif, termasuk vape, serta produk tembakau yang dipanaskan," ucapnya.
Sementara itu, praktisi kesehatan , Dokter Tri Budhi angkat bicara mengenai perlunya standardisasi pada produk vape untuk melindungi penggunanya. Belakangan muncul kabar potensi pencemaran logam bagi pengguna vape/rokok elektrik.
Menurut Tri Budhi, hal tersebut akan timbul jika pemanasan melebihi suhu tertentu pada coil dari vape. Namun, hal itu kecil kemungkinan terjadi bila pengguna memahami dengan baik pengaturan perangkat (device) dan cara mengaturnya.
“Device vape saat ini sudah mayoritas regulated mod device, yang berarti sistem pemanasan sudah terkontrol chipset di dalam device-nya. Sehingga suhu kritis pemanasan logam coil bisa lebih terkendali,” ujar dr. Tri Budhi.
Beberapa peneliti, aktivis, dan pemerintah melihat rokok elektrik sebagai alternatif yang lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok konvensional. Public Health England rutin melakukan penelitian setiap tahun dan menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko yang jauh lebih rendah ketimbang rokok konvensional. Untuk itu, upaya untuk melakukan standardisasi device perlu dilakukan agar semua device yang beredar di pasaran terkontrol dan tepat sasaran.
"Standardisasi produk bisa membantu mengurangi penyalahgunaan dan bahkan bisa menjadi jalan untuk edukasi penggunaan vape kepada penggunanya," kata Tri Budhi (31/5).
Saat ini Indonesia masih belum menerapkan kerangka pengurangan dampak buruk tembakau (tobacco harm reduction atau THR) dengan produk tembakau alternatif seperti vape. Berdasarkan laman situs antismoking.global, Indonesia berada di urutan 44 dari 64 negara dalam hal pengembangan regulasi yang mendukung inovasi dan kebijakan publik yang tepat untuk mengurangi prevalensi perokok. Sementara itu, negara-negara yang telah mengadopsi kerangka pengurangan dampak buruk tembakau dalam kebijakan negaranya, seperti Inggris dan Swedia berada di urutan atas. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut telah secara efektif menurunkan prevalensi perokok melalui produk tembakau alternatif, seperti vape, tembakau dipanaskan, dan kantung nikotin.
Apakah lebih bijak kalau kita pakai kata 'praktisi kesehatan' saja instead of ahli? Rasa-rasanya 'ahli kesehatan' itu adalah orang yang memiliki background kesehatan dari hasil belajar saja, bukan 'dokter'. Sedangkan di sini dr. Tri Budhi adalah 'dokter'. Wdyt Pak Rud?
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait