Revisi UU TNI: Akankah Kembalinya Dwifungsi Bagi Tentara Nasional Indonesia

Y. D. Taruna
Nurmilaila - Arya Simanjuntak (Permahi Untirta).

Oleh: Nurmilaila - Arya Simanjuntak (Permahi Untirta)

 

SERANG, iNewsBanten - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi salah satu isu yang hangat diperbincangkan di Indonesia. Setelah lebih dari 20 tahun sejak diberlakukannya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, muncul wacana untuk melakukan perubahan guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun, revisi ini tidak luput dari kontroversi, terutama terkait potensi perluasan peran prajurit aktif di jabatan sipil dan salah satu perubahan utama dalam revisi UU TNI ini adalah perpanjangan usia pensiun bagi prajurit.

 

Perlu dibahas terlebih dahulu mengenai batasan atau larangan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Sudah jelas disebutkan dalam Pasal 39 UU TNI mengatur bahwa prajurit atau anggota TNI dilarang terlibat dalam:

 

1. Kegiatan menjadi anggota partai politik;

2. Kegiatan politik praktis;

3. Kegiatan bisnis; dan

4. Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

 

Hal tersebut dapat dilihat pada usulan perubahan pasal 47 ayat (2) melalui penambahan frasa ‘serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden’. Perubahan pasal 47 ayat (2) itu, merupakan upaya Prabowo untuk melegitimasi penempatan prajurit TNI aktif. Padahal, hal itu dilakukan secara ilegal dan bertentangan dengan UU TNI.

 

Salah satu contohnya pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet periode 2024-2029 . Seharusnya, seorang perwira aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Undang-Undang TNI tersebut mengatur bahwa prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Hal ini sebagaimana disampaikan organisasi yang bergerak di bidang demokrasi, keamanan, dan HAM, SETARA Institute, hal tersebut disampaikan dalam siaran pers yang dibuat pada Selasa (22/10/2024). Berikut isi siaran pers tersebut:

 

Pengangkatan Mayor Teddy menjadi Sekretaris Kabinet Melanggar UU TNI . Pengangkatan Mayor Teddy melanggar ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

 

Justifikasi perubahan struktur Seskab dari semula setingkat Menteri, kemudian menjadi di bawah Mensesneg tidak serta merta membuat posisi tersebut masuk ke dalam posisi jabatan sipil yang dapat diduduki Prajurit TNI aktif. Sebab, posisi Seskab maupun Mensesneg tidak termasuk ke dalam jabatan sipil sebagaimana ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Artinya, ketentuan yang berlaku seharusnya kembali ke ayat (1)nya, yakni menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

 

Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI mengatur dengan spesifik perihal jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa pensiun dini, yaitu: jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.

 

Dengan ketentuan yang rinci tersebut, semestinya mudah bagi Presiden untuk meninjau ulang pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab atau memerintahkan yang bersangkutan untuk mundur dari dinas kemiliteran. Menjadikan perubahan struktur Seskab sebagai justifikasi penempatan Mayor Teddy hanya memperlihatkan kebijakan yang tidak berbasis pada ketentuan UU TNI serta mengingkari semangat reformasi TNI.

Presiden, hingga para menteri dan pimpinan lembaga, semestinya tetap mendukung dan memperkuat profesionalitas TNI, dengan tidak memberikan jabatan-jabatan tertentu dan/atau memberikan tugas dan kewenangan di luar tugas pertahanan dan tugas perbantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Reformasi TNI harus berjalan dua arah atau timbal balik: TNI fokus melakukan reformasi dan presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat Konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

 

Perlu diingat adanya Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah dalam aturan, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya.

 

Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus. Penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan/yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM – apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer. Mengingat sampai saat ini Pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer.

 

Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer. Ketentuan ini menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya.

 

Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan. usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI.

Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis.

 

Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

 

Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu.

 

Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis.

 

Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko pun setuju bahwasanya tni dan polri tidak boleh berbisnis atau terlibat dalam politik dikarenakan menghambat kerjaannya.

Lebih dari itu, berangkat dari peran dan fungsi TNI-Polri, pengangkatan prajurit dan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Dasar Menimbang huruf (d), serta Pasal 6, dan Pasal 72 UU BUMN, yang menyatakan penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat.

 

Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sudah tentu kompetensi ini secara normatif tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Jabatan dalam jajaran BUMN harus diisi oleh orang yang memiliki kompetensi sesuai jabatannya sehingga amanat UU BUMN dapat dilaksanakan dengan baik.

 

Pada sisi lain, penempatan prajurit dan perwira aktif dalam jajaran BUMN menunjukan sikap ketidak-profesionalitasan TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam UU TNI dan Polri.

 

Penulis berharap revisi UU TNI terbaru benar-benar membawa perubahan positif bagi institusi TNI dan bangsa Indonesia. Semoga revisi ini tetap menjunjung tinggi prinsip demokrasi, profesionalisme, serta supremasi hukum, sehingga TNI dapat semakin kuat dalam menjalankan tugasnya menjaga kedaulatan negara tanpa melanggar hak-hak sipil.

 

Selain itu, semoga revisi ini juga memperkuat sinergi antara TNI, pemerintah, dan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketahanan nasional. Penulis berharap yang terbaik bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses revisi ini agar dapat menghasilkan keputusan yang terbaik demi kepentingan bangsa dan negara.

Editor : Mahesa Apriandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network