Alasan 1
Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan dibekam adalah hadits yang telah di-mansukh (dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al Khudri. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam." (HR Ad-Daruquthni, An-Nasa'i dalam kitab Al Kubro, dan Ibnu Khuzaimah)
Ad-Daruqutni mengatakan semua periwayat dalam hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu'tamar yang meriwayatkan secara mauquf –yaitu hanya sampai pada sahabat. Syekh Al Albani dalam Irwa' (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu' –sampai pada Nabi– atau mawquf –sampai sahabat.
Ibnu Hazm mengatakan, "Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shahih –tanpa ada keraguan sama sekali. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: 'Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam.' Sanad hadits ini shahih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya 'azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah di-naskh (dihapus)."
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syekh Al Albani dalam Irwa' (4/75) mengatakan, "Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shahih –tanpa ada keraguan sedikit pun. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (di-naskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas."
Alasan 2
Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: "Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya," adalah kalimat majas.
Maksudnya adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa.
Hal yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh 'Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol –namun tidak sampai mengharamkan, ini masih berlaku bagi sahabatnya." (HR Abu Dawud nomor 2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syekh Al Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Abi Dawud mengatakan hadits ini shahih)
Editor : Mahesa Apriandi