JAKARTA, iNewsBanten- Kasus pernikahan tanpa wali tidak jarang ditemukan di masyarakat. Seorang artis Indonesia pernah menuai kontroversi beberapa tahun lalu karena menikah tanpa dihadiri orang tua yang seharusnya menjadi wali pernikahan.
Bagi pihak yang menikah tanpa wali, bisa saja terpaksa melakukannya karena tidak mudah mendapat restu atau ada alasan lain. Lalu, bagaimana status pernikahan tanpa wali? Hal ini sebagaimana pertanyaan yang dikirimkan pembaca iNewsBanten- lewat iNews Litigasi.
Berikut pertanyaan lengkapnya:
Saudara saya menikah beberapa tahun yang lalu dengan seorang pria. Saat pendaftaran pernikahan di KUA diketahui bahwa calon suaminya adalah duda yang sudah bercerai 1 tahun sebelumnya dan dibuktikan dengan akta cerai yang sah.
Pihak keluarga tidak mempermasalahkan sehingga pernikahan tetap dilanjutkan. Tapi beberapa bulan setelah pernikahan, dari pihak mantan istrinya mengaku bahwa setelah putusan cerai di pengadilan agama, mereka melakukan mbangun nikah (semacam ijab kabul ulang yg dipandu seorang ustaz, tanpa dihadiri wali dari pihak perempuan). Mereka juga tidak melaporkan ke Pengadilan Agama hingga saat ini. (Akta cerai tetap terbit dan status di KTP menjadi duda cerai hidup, sedangkan pihak mantan istri tidak mau mengubah status di KTP-nya).
Pertanyaan saya:
1. Bagaimana status pernikahan saudara saya dengan suaminya? Apakah tetap sah di mata hukum?
2. Bagaimana status suami saudara saya dengan mantan istrinya? Karena hingga saat ini mantan istrinya kerap meminta hak sebagai istri. Mohon penjelasannya.
Terima kasih
Penanya Adinda (nama samaran)
Berikut jawaban dan penjelasan Partner Kantor Hukum Sembilan Sembilan Rekan, Slamet Yuono, S.H., M.H
Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan penanya Adinda (nama samaran) melalui iNews Litigasi. Atas pertanyaan yang saudari sampaikan, kami akan mencoba membantu memberikan jawaban sejauh pemahaman dan pengetahuan kami dari sudut pandang hukum mengenai permasalahan yang dialami oleh saudara dari penanya.
I. Pastikan Terlebih Dahulu Apakah Benar Suami dari Saudara Penanya telah Bercerai
Mencermati kronologi sebagaimana saudari penanya sampaikan, ada baiknya saudara dari penanya mengirimkan surat kepada ketua Pengadilan Agama setempat (di Pengadilan Agama yang mengadili proses perceraian). Surat tersebut berisi mohon penjelasan terkait dengan akta cerai dimaksud, apakah memang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama setempat. Hal ini untuk mengetahaui kebenaran apakah ada permohonan/gugatan perceraian atas nama suami istri dimaksud dan apakah Pengadilan Agama telah memutus perkara tersebut serta menerbitkan akta cerai berdasarkan putusan Pengadilan Agama setempat. Hal ini berkaitan dengan pernikahan saudara dari penanya dengan seorang laki-laki yang mengaku sebagai duda.
Perlu kami sampaikan, ini penting untuk menghindari kejadian misalkan ternyata akta cerai yang ada aspal (asli tapi palsu). Hal ini sebagaimana dikutip dari website https://pa-ngamprah.go.id/publikasi/berita-terkini/327-hati-hati-penipuan-berkedok-akta-cerai-palsu yang menjelaskan:” …hal inilah yang membuat kewaspadaan tentang beredarnya akta cerai palsu. Alih-alih ingin cepat dengan cara instan, ternyata akta cerai tersebut palsu dan tidak memiliki kekuatan hukum formal sehingga tidak bisa digunakan”. PA Ngamprah dalam website-nya juga menyampaikan pengumuman terkait maraknya akta cerai palsu.
II. Bagaimana Status Pernikahan Saudara Penanya dengan Suaminya
Sebagaimana diuraikan di atas, jika ternyata ketua Pengadilan Agama menjawab surat tersebut dan membenarkan adanya permohonan/gugatan cerai dan akta cerai atas nama suami dari saudara dari penanya dengan duda dimaksud, maka selanjutnya yang diperhatikan adalah apakah pernikahan yang dilakukan oleh saudara dari penanya telah memenuhi syarat perkawinan. Ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 s/d 12 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Juncto UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan).
Selain itu, perlu diperhatikan apakah pernikahan memenuhi Rukun Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Jika Syarat dan Rukun Perkawinan telah dipenuhi, maka perkawinan yang dilakukan oleh saudara dari penanya dengan duda dimaksud adalah SAH secara agama dan hukum. Hal ini berdasarkan penjelasan penanya yang menyampaikan pernihakan telah didaftarkan di KUA (Kantor Urusan Agama).
Bahwa penanya menyampaikan pernikahan saudaranya telah didaftarkan pada Kantor Urusan Agama, hal ini berkesuaian dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya, yang menyebutkan:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 adalah di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, yang berbunyi:
2) Pencatatan Pernikahan dalam Akta Nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan atau PPL LN.
Tentunya jika ternyata perkawinan dari saudara dari penanya telah memenuhi Syarat, perkawinan, Rukun Perkawinan, sudah didaftarkan di KUA, maka tinggal menunggu kejelasan status perceraian dari calon suaminya (duda) dari Pengadilan Agama. Jika semua hal tersebut telah dipenuhi dan jelas secara hukum, maka penanya tidak perlu mengkuatirkan status pernikahan dari saudara dari penanya.
III. Bagaimana Status Suami dan Mantan Istrinya?
Dalam kronologi, penanya menegaskan “pihak mantan istrinya mengaku bahwa setelah putusan cerai di Pengadilan Agama, mereka melakukan mbangun nikah (semacam ijab kabul ulang yg dipandu seorang ustaz, tanpa dihadiri wali dari pihak perempuan)”. Jika memang benar yang saudara penanya sampaikan mengenai ada fakta “mbangun nikah” tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan, maka pernikahan tersebut adalah TIDAK SAH.
Hal ini berdasarkan dasar hukum dalam Al Qur’an, Hadist dan hukum positif Islam di Indonesia, antara lain:
1. Al Qur’an, salah satu yang dikutip adalah Surat Al Baqarah ayat 232, yang artinya "Apabila kami mentalak istri-istrimu, lalu habis ‘iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya".
2. Hadist, salah satu Hadist yang dikutip adalah sebagaimana disampaikan dalam Sunan Abu-Dawud Buku 5 (Pernikahan/Kitab Al Nikah) Nomor 2085 : Diriwayatkan Abu Musa: "Nabi Shallalaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: tidak ada perkawinan tanpa izin wali".
3. Kompilasi Hukum Islam
• Pasal 14 yang menyebutkan: "Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami
b. Calon Isteri;
c. Wali Nikah;
d. Dua orang saksi dan:
e. Ijab dan Kabul.
• Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan: "wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya".
Mengenai mantan istri yang masih menuntut hak dari mantan suami, jika hak yang dimaksud adalah nafkah, hal ini harus diperhatikan dalam putusan dari majelis hakim Pengadilan Agama yang memeriksa dan memutus perkara, apakah mengabulkan tentang permintaan nafkah dari istri atau tidak.
Jika dikabulkan, maka hal tersebut harus dipenuhi oleh mantan suami. Hal ini sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, pada pasal 149 menyebutkan:
"Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, mamaskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah di jatuhi talak bal’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Kemudian, Mahkamah Agung dalam Rumusan Kamar Agama, Nomor Rumusan Kamar: Agama/1.B/SEMA 3 2018, memberikan rumusan: Menyempurnakan rumusan kamar agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi: "hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, nafkah mut’ah dan nafkah anak, harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta dan kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak."
Jika mantan istri masih menuntut hak sebagai istri, maka hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh mantan suami karena pernikahan telah berakhir dengan putusnya perkawinan sebagaimana diuraikan di atas.
Demikian jawaban dan pandangan dari kami Kantor Hukum Sembilan Sembilan dan Rekan menjawab pertanyaan yang telah saudara sampaikan melalui iNews Litigasi. Semoga bermanfaat khususnya bagi penanya dan saudaranya, serta masyarakat pada umumnya.
Hormat kami,
Slamet Yuono, SH., MH
Partner Kantor Hukum Sembilan Sembilan dan Rekan
Dasar Hukum:
1. Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 232;
2. Hadist tentang Wali Nikah, Sunan Abu-Dawud Buku 5 (Pernikahan/Kitab Al Nikah) Nomor 2085 :
3. UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
4. UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan
5. Kompilasi Hukum Islam
6. Rumusan Kamar Agama Mahkamah Agung Nomor Rumusan Kamar : Agama/1.B/SEMA 3 2018
7. https://pa-ngamprah.go.id/publikasi/berita-terkini/327-hati-hati-penipuan-berkedok-akta-cerai-palsu
Tentang iNews LitigasiLitigasi
iNews Litigasi adalah rubrik di iNews.id untuk tanya jawab dan konsultasi permasalahan hukum. Pembaca bisa mengirimkan pertanyaan apa saja terkait masalah hukum yang akan dijawab dan dibahas tuntas para pakar di bidangnya.
Masalah hukum perdata di antaranya perebutan hak asuh anak, pencemaran nama baik, utang piutang, pembagian warisan, sengketa lahan tanah, sengketa kepemilikan barang atau jual-beli, wanprestasi, pelanggaran hak paten, dll. Selain itu juga hukum pidana perdata antara lain kasus penipuan, pengemplangan pajak, pemalsuan dokumen, pemerasan, dll. Begitu pula kasus-kasus UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) dll.
Editor : Mahesa Apriandi