Miing berpendapat bahwa gelaran Pehcun selama ini belum merepresentasikan kebudayaan di Kota Tangerang. Pasalnya, pesta budaya Tionghoa itu merupakan inisiatif warga.
"Maka sudut pandang yang dipakai untuk menilai apakah keberpihakan Pemkot sudah tinggi terhadap kebudayaan terletak pada kebijakan yang diambil, bukan pada potongan-potongan ceremony baik festival-festival atau yang lainnya," tutur Miing.
Sementara, pendapat dikemukakan juga oleh Sastrawan Indonesia, Muhammad Rois Rinaldi, memandang nilai dan semangat kebudayaan jauh lebih mendalam.
"Cara berpikir kebudayaan, kalau orang fokus ke prodak kebudayaan, selebrasi budaya, itu tidak akan bisa membangun manusia yang berbudaya. Itu hanya membangun panggung-panggung yang tidak cukup punya daya untuk mengelola konstruksi pikiran budaya suatu kota," kata Rois.
Rois melanjutkan, dalam kaitannya dengan pemerintahan, penting untuk disadari bahwa tidak semua nilai dalam masyarakat bersumber dari semangat luhur sebagaimana yang dipikirkan secara ideal.
"Dalam realitas budaya dan tatanan sosial, nilai acap kali dibentuk oleh dinamika kekuasaan di mana ada nilai-nilai patronase atau sekurang-kurangnya tekanan kekuasaan, kepentingan ekonomi dalam narasi perdagangan yang membentuk nilai tertentu, atau bahkan bias budaya yang telah berlangsung lama semisal tradisi-tradisi yang tidak konstruktif terhadap semangat zaman," urai Rois.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait
