Dalam keseharian, Saryati hanya mengandalkan belas kasihan kerabat dan tetangga. Untuk makan, ia kerap menunggu uluran tangan warga sekitar yang sesekali memberi nasi dan lauk seadanya. Bantuan dari pemerintah nyaris tak pernah dirasakan.
“Dulu pernah dapat beras lima liter untuk tiga bulan, tapi sekarang sudah lama tidak ada lagi,” kata Saryati.
Di tengah gempuran industri besar di sekitarnya, kehidupan Saryati justru semakin tertinggal. Putra bungsunya, Anes, hanya mampu menamatkan pendidikan hingga sekolah dasar karena keterbatasan biaya.
Editor : Mahesa Apriandi
Artikel Terkait
