“Bahwa kami selaku Keluarga Besar dan Alumni Pondok Pesantren Riyadul Awamil Cangkudu Baros Berkewajiban menjaga Marwah dan Kehormatan Pesantren dari upaya tindakan Kejahatan dalam bentuk apapun terhadap Santri,” demikian kutipan salah satu poin dalam surat yang dilayangkan ke Komisi Yudisial.
Pada bagian lain, KH Sonhaji juga menyampaikan jika pihaknya mendukung independensi Hakim dalam memutus perkara sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. “Serta mencegah adanya penyimpangan yang dapat mencederai rasa keadilan atau kearifan lokal yang ada di masyarakat dan menjauhkan dari pihak-pihak yang ingin mengintervensi Hakim, sehingga dapat mengakibatkan pelanggaran kode etik,” tulis KH Sonhaji dalam surat itu.
Kearifan lokal yang dimaksud KH Sonhaji, bawha korban diculik oleh para terdakwa saat melaksanakan pengajian bada Magrib. “Pengajian bada Magrib hingga waktu Shalat Isya adalah kearifan lokal di Banten,” ujar KH Sonhaji lagi.
Sebagaimana diketahui, sidang kasus dugaan penganiayaan terhadap M. Aditya tengah bergulir di PN Serang, dan memasuki tahap vonis pada Selasa 21 Maret 2023 mendatang.
Pada kasus ini terdapat delapan terdakwa yang diduga menjadi pelaku pengeroyokan terhadap M. Aditya, santri di Pesantren Cangkudu Baros tersebut.
Dari 10 orang tersangka, 8 orang diantaranya telah didakwa bersalah oleh JPU Kejaksaan Negeri Serang dengan tuntutan antara 3 sampai 4 tahun penjara. Sementara dua tersangka lain, hingga saat ini dalam pengejaran alias DPO.
“M. Aditya merupakan santri yang menjadi korban kekerasan, kami sangat terpukul dan kecewa atas kejadian ini,” ujar KH Sonhaji.
“Bangsa kita adalah Bangsa yang menjunjung tinggi moralitas, dan Pesantren adalah salah satu tempat untuk memupuk moralitas tersebut dengan rangkaian kurikulum yang diberikan kepada santri,” sambung KH Sonhaji lagi.
Editor : Mahesa Apriandi