Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan liputan investigasi dan ekslusif tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Ada yang toxic terhadap kebebasan pers. Kita belum tau siapa yang memasukan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers," katanya.
Sementara itu, Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Sulawesi Selatan menemukan beberapa kejanggalan pada proses rekrutmen Komisi Penyiaran Indonesia [KPI] Daerah Sulawesi selatan.
Masing-masing komisioner terpilih tidak memiliki latar belakang penyiaran dan bahkan tidak menguasai bidang penyiaran.
Kuat dugaan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan uji kelayakan dan kepatutan secara tertutup.
Hal tersebut diduga kuat melanggar "PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA, NOMOR : 02/P/KPI/04/2011, TENTANG PEDOMAN REKRUTMEN KOMISI PENYIARAN INDONESIA, yang tertera pada Pasal 9 nomor 5 dan 7 berbunyi, Dewan Perwakilan Rakyat melakukan uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka.
Serta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan 9 (Sembilan) Anggota KPI Pusat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi menetapkan 7 (tujuh) Anggota KPI Daerah, yang dipilih berdasarkan sistem pemeringkatan (ranking).
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Sulsel, Andi Mohammad Sardi mempertanyakan sang inisiator hingga terdapat pasal yang merugikan jurnalis.
Apalagi dalam salah satu pasal, mewajibkan penyelesaian sengketa pers di KPI. Pelanggaran etik jurnalis akan diselesaikan oleh komisoner yang dipilh oleh anggota DPR.
"Jelas kacau jika ini disahkan. Lembaga penyiaran akan menjadi wahana legislatif memainkan perannya menekan jurnalis. Menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers," tegasnya, Senin (20/05/2024). Dikutip dari iNews.id.
Editor : Mahesa Apriandi