Rasa perjuangan Mahasiswa untuk mewujudkan keadilan universal mulai pudar seiring berjalannya waktu. Nilai luhur perjuangan telah berubah menjadi ajang perlombaan dalam berebut eksistensi. Esensi yang ada dalam gerakannya mulai terkikis, seolah hanya menjadi bayangan lalu hanyut dalam lautan kepentingan.
Dewasa ini, pergerakan murni Mahasiswa berada pada jalur yang terjal. Minimnya kesadaran hakiki Mahasiswa akan statusnya sebagai agen of change dan agend of social control menjadi tantangan tersendiri. Pilihan antara meneruskan perjuangan atau tetap berada pada zona nyaman menjadi tanda tanya yang menyesakkan dada. Gie, dalam bukunya yang lain “Catatan Seorang Demonstran” mengemukakan bahwa seorang intelektual atau menurutnya intelegensia harus memiliki kemampuan berpikir yang baik dan mampu menciptakan suatu terobosan baru, hal itu memang menjadi tugas utamanya.
Sedangkan untuk menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, maka seorang Mahasiswa sebagai intelektual wajib memiliki kepekaan, kepeduliaan, dan keberpihakan sosial kepada mereka yang tertindas oleh kekuasaan negara. Menempatkan objektifitas dan nurani di atas kebutuhan eksistensi.
Jika dahulu Mahasiswa menjadi pengawal kinerja dan pengamat taktik kotor para cukong, saat ini malah banyak dari golongan kita yang terlibat di dalamnya. Apakah revolusi setelah reformasi sebercanda itu? Sikap idealis yang dipertahankan Gie membuatnya berseberangan dan kemudian dikucilkan okeh teman-temannya.
Tetapi hal tersebut bukanlah persoalan yang berarti untuknya. Baginya, ketika kita mempertahankan kebenaran, artinya kita telah siap kesepian. Idealis sejati hanya berkata, berbuat, dan bertindak atas nama kebenaran.
Editor : Mahesa Apriandi